Wileujeung Sumping ^___^


TiMur TeNgaH

 



Perang Teluk Irak-Amerika Serikat  (1991-1992)

Irak merupakan salah satu negara di kawasan Teluk yang masuk daftar negara-negara penting oleh Amerika Serikat. Irak di bawah pimpinan Saddam Hussein pada era ‘90-an terlihat begitu antusias untuk menanamkan hegemoninya di kawasan Teluk. Saddam Hussein, lahir pada 28 April 1937 di Kota Tikrit, Irak sering digambarkan –terutama oleh media AS- sebagai penguasa paling otoriter di kawasan Timur Tengah[1]. Ia berambisi untuk menjadi penguasa tunggal di kawasan Teluk. Al Jumhuriyah al Iraqiyah atau di singkat dengan Al-Iraq adalah sebuah negara di Timur Tengah atau Asia Barat Daya yang meliputi sebagian terbesar daerah Mesopotamia serta ujung barat laut dari Pegunungan Zagros dan bagian timur dari Gurun Suriah. Negara ini berbatasan dengan Kuwait dan Arab Saudi di selatan, Yordania di barat, Suriah di barat laut, Turki di utara, dan Iran di timur[2].
Dalam Imperium Usmaniyah, wilayah yang sekarang disebut Irak merupakan kawasan terpencil dari Istanbul. Ketika itu wilayah Irak lebih dikenal dengan nama Mesopotamia yang dibagi kepada tiga distrik terpisah, yakni Basrah, Baghdad, dan Mosul[3].
Sebab Terjadinya
· Konflik Irak-Kuwait pada 1990
Kuwait adalah sebuah negara merdeka pada 1961. Pada awal abad XVIII, terdapat tiga keluarga dari klan Utoobi di lingkungan suku Unaiza di Nejd selatan bermigrasi ke arah laut, meninggalkan pemukiman mereka di padang pasir dan mendarat di Qarain –Kuwait saat ini- pada 1710[4]. Mereka adalah Bani Sabah. Ketiga klan ini kemudian mendirikan suatu pemukiman sederhana yang pada masa berikutnya menjadi berkembang pesat. Keluarga Al-Sabahlah yang kemudian menjadi penguasa Qarain atau Kuwait hingga saat ini. Pada 1775 pelabuhan Basrah yang terletak di sebelah utara Kuwait ramai oleh perdagangan internasional[5]. Hal ini juga menjadikan pelabuhan Kuwait ramai oleh para pedagang yang melewati pelabuhan Kuwait menuju kota-kota dinasti Usmaniyah. Namun, hal ini justru menjadi suatu masalah oleh Saddam. Ia mengklain kawasan Kuwait adalah bagian dari provinsi Usmaniyah di Basrah. Sedangkan menurut sejarah, kedatangan tiga klan besar ke Qarain dan pendudukannya di sana dikarenakan pada waktu itu Qarain adalah no-man’s Island.
Pada pertengahan Juli 1990 pemerintah Irak kembali mengemukakan ancaman-ancaman yang sudah seringkali ditujukan kepada Kuwait dan ancaman-ancaman itu disertai klaim-klaim teritorial tertentu atas Kuwait[6].
· Krisis 1990
Kuwait adalah sebuah negara kecil di kawasan Teluk yang berpengaruh bagi indusri barat karena negara ini menghasilkan minyak yang melimpah. Namun Irak sebagai negara tetangga sering mengklaim Kuwait dengan alasan teritorial. Klaim ini sudah terjadi sejak tahun 1975. Walaupun begitu, pada perang Irak-Iran tahun 1980, Kuwait berkontribusi untuk Irak sebanyak 12 miliar dolar[7]. Namun setelah perang selesai Saddam hussein sebagai presiden Irak pada waktu itu berdalih untuk tidak memberikan ganti rugi kepada Kuwait, bahkan Kuwait diharuskan membayar kerugian kepada Irak sebanyak 2,5 miliar dolar[8]. Bantuan Kuwait kepada Irak adalah berupa suplay minyak selama perang. Hal ini berdasarkan tuduhan Irak kepada Kuwait yang telah melakukan over-produksi minyak sehingga harga minyak di pasaran internasional menjadi turun.
Akhirnya pada 31 Juli 1990 Irak-Kuwait mengadakan pertemuan di Arab Saudi untuk mencari jalan keluar atas permasalahan itu. 1 Agustus 1990 pembicaraan dihentikan dan pada 2 Agustus 1990 Irak langsung menduduki Kuwait dengan cara blitzkrieg (serangan kilat)[9]. Invasi irak ini diikuti dengan aneksasi dan pendirian negara boneka pada minggu selanjutnya. Inilah awal mula terjadinya Perang Teluk Irak-AS. AS menganggap Irak sebagai ancaman hegemoninya di kawasan Teluk.
Alasan Perang
Invasi yang dilancarkan Irak pada 2 Agustus 1990 sebenarnya adalah merupakan miskalkulasi historis. Saddam mengira serangan kilatnya kepada Kuwait akan mendapat dukungan dan sambutan baik dari banyak pihak karena Kuwait sebagai negara kaya di kawasan Teluk dengan cadangan minyak yang melimpah sering dianggap tidak mau membagi kekayaan negaranya terhadap negara miskin sekitarnya dan mengira Washington tidak akan menghiraukan invasi Irak ke Kuwait selama masa transisi perang dingin.
Tujuan
  • Irak
Irak bertujuan menguasai Kuwait sebagai bagian dari wilayahnya karena klaim letak geografis di masa lampau. Sedangkan Amerika Serikat sesungguhnya menjadi predator bagi kawasan Teluk. Washington ingin menggalang setiap kekuatan yang tidak berada di bawah kendalinya agar tidak dapat menjadi kekuatan yang dominan yang mampu menentang posisi AS di kawasan Teluk.
  • Amerika
Amerika bukan tanpa sebab mengadakan serangan ke Irak. Faktor utama adalah tentu saja ekonomi. Amerika harus mencari sumber cadangan minyak lebih banyak selain Arab Saudi.

Perang Yom Kippur 1973
 
Latar Belakang Masalah
Sebagaimana konflik Arab-Israel pada tahun sebelumnya, perang yang terjadi pada tahun 1973 ini juga dipicu oleh permasalahan tentang perebutan wilayah antara Mesir dan Israel yang pada akhirnya melibatkan Suriah. Dalam perjalanannya, konflik Arab-Israel tidak pernah terlepas dari peran dua Negara “hot line” atau yang lebih dikenal dengan Amerika Serikat dan Uni Soviet. Meskipun kedua Negara adidaya tersebut tidak terlibat sebagai peserta dalam peperangan ini, namun partisipasi mereka sangat berpengaruh. Pasalnya, baik Israel maupun Mesir sangat bergantung pada kedua negara adidaya tersebut.
Dataran tinggi Golan dan Semenanjung Sinai yang saat itu masih berada di garis kekuasaan Israel menjadi sasaran utama dalam perang ini. Dengan strategi perang “surprise” diharapkan Israel akan kehilangan keseimbangan dan akan menguntungkan Arab dalam perundingan-perundingan pasca perang. Selain itu, tujuan dari perang ini adalah untuk mencegah kebekuan proses perdamaian Timur Tengah dimana secara de-facto Israel akan dibiarkan oleh dunia internasional untuk tetap menduduki wilayah Arab sambil memulihkan trauma perang 1967 dan menghancurkan mitos bahwa tentara Israel adalah “invicible”. Melalui perang ini juga diharapkan negara-negara besar, terutama Amerika Serikat dan Uni Soviet untuk memberlakukan resolusi PBB 242 yang sudah sampai pada jalan buntu.[1]
Sebagian dari harapan tersebut memang tercapai, ketika Israel sempat menarik mundur pasukannya dan kemudian kembali dengan bentuk serangan offensif. Sebagaimana beberapa perang sebelumnya, kali ini Israel juga diperkuat dengan persenjataan Amerika Serikat yang berbuah pada kemenangan Israel. Pada saat itu, Israel keluar sebagai pemenang dalam perang 1973 karena berhasil merebut kembali wilayah yang pernah didudukinya itu. Walaupun akhirnya Israel harus kehilangan sejumlah petinggi angkatan bersenjatanya seperti Perdana Menteri Golda Meir dan Menteri Pertahanan Moshe Dayan dari Partai Buruh serta Panglima Angkatan Bersenjata Israel, David Eliazar.
Perlu diketahui bahwa kesediaan Amerika Serikat untuk menjadi penyokong utama dalam militer, persenjataan, dan perekonomian Israel menjadi legenda yang dramatis. Pasalnya,bantuan AS terhadap Israel ini melebihi bantuan AS terhadap negara-negara lainnya. Selain itu, mengingat jumlah populasi Israel yang tergolong kecil, maka jumlah bantuan yang dialirkan oleh AS telah melebihi kapasitas negara tersebut dengan kata lain, AS telah memanjakan negara kecil itu dengan bantuan-bantuannya. Hal ini dapat dilihat pada saat perang Youm Kippur yang melibatkan dua negara raksasa Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Serangan Negara Koalisi Arab
Perang yang terjadi pada tanggal 6 Oktober 1973 ini dikenal juga dengan Perang Youm Kippur, karena serangan preemtiv yang dilakukan oleh Negara koalisi Arab itu dilakukan pada hari besar bangsa Israel atau Youm Kippur. Serangan ini dimulai dengan penyeberangan Terusan Suez oleh tentara Mesir untuk sampai pada garis Bar-Lev dimana pertahanan Israel berdiri kokoh di antara lebih dari 1,5 kubik dan bahan bangunan lainnya. Penyeberangan dilakukan tepat pada pukul 14.05 siang hari pada tanggal 6 Oktober 1973 dengan menggunakan 11 titik penetrasi dari wilayah selatan El Cap hingga ke Utara di Port Tewfik.
Sebagai serangan pembuka sekitar 200 pesawat udara Mesir terbang rendah di atas kanal dan Teluk Suez untuk menyerang rudal Hawk dan pos komando Israel yang berada di seberang Terusan Suez.[2] Kemudian dilanjutkan dengan 2.000 pucuk persenjataan artileri yang melengkapi 4.000 pasukan yang bergerak pada gelombang pertama. Penyeberangan ini juga dibantu oleh Angkatan Udara Mesir dengan melakukan 250 sorti penerbangan pesawat angkut. Empat jam kemudian, setiap divisi pasukan telah mulai membangun jembatan (bridgehead) untuk memindahkan tank-tank Mesir ke sebelah Timur Terusan Suez sebelum Israel melakukan serangan balasan). Pada malam harinya, sekitar 80.000 pasukan darat Mesir telah berhasi menduduki wilayah-wilayah penting di seberang Terusan Suez.[3]
Tentu saja penyeberangan ini tidaklah semudah menyeberangi jalan raya biasa. Dengan ide brillian, Mesir berhasil menghancurkan garis Bar Lev yang dimitoskan lebih tangguh dari garis Maginot Perancis dalam Perang Dunia II. Untuk menghancurkan gundukan pasir yang menaungi garis Bar Lev itu, Mesir menggunakan penyemprot air bertekanan tinnggi dengan tenaga generator buatan Inggris dan Jerman Barat. Selain itu, Mesir juga menggunakan buldozer, pemboman, maupun penembakan terhadap dasar-dasar Bar Lev Line yang telah berhasil dikikis dengan menggunakan senjata artileri. Rudal-rudal buatan Uni Soviet juga sangat berperan penting dalam peristiwa ini. Dengan peluru anti-pesawat tipe SAM-5 dan SAM-6 buatan Uni Soviet Mesir-Syria telah menjatuhkan puluhan pesawat Phantom dan Skyhawk milik Israel. Penyerangan ini juga dilanjutkan sampai ke kawasan Sinai oleh AU Mesir.
Sedangkan di sebelah Utara, pasukan lapis baja Suriah yang terdiri dari 1.300 tank maju menderu menuju Dataran Tinggi Golan dan berhasil menerobos purple line yang merupakan garis pembatas tentara Israel-Suriah dengan gerak paralel menuju sasaran di garis tengah, Selatan, dan Utara. Tidak hanya itu, Angkatan Bersenjata Suriah juga berhasil melintasi medan datar yang merupakan kawasan perbatasan Suriah dan Dataran Tinggi Golan, berupa tanah berpasir campur batu bekas aliran lahar dingin gunung Hermon. Saat itu, Suriah juga berhasil menguasai pusat pengintaian Israel di Gunung Hermon,bukit Booster dengan aksi duel tank yang sengit. Para penembak jitu Suriah ini telah mampu membuat pasukan Brigade Golani kewalahan dan memilih untuk mengundurkan diri dari The Eyes of Israel itu. Alhasil, pada tanggal 7 Oktober 1973 Suriah berhasil menguasai sebagian besar Dataran Tinggi Golan setelah desakan selanjutnya terhadap pasukan Israel.
Perang yang mengusung tema “surprise” ini tidak hanya mengejutkan Israel, tapi juga Amerika Serikat. Saat itu Mesir-Suriah hadir dengan jumlah tentara invasi yang tidak sedikit..Di dataran tinggi Golan, garis pertahanan Israel yang hanya berjumlah 180 tank harus berhadapan dengan 1.400 tank milik Syria. Sedangkan di terusan Suez, kurang dari 500 tentara Israel harus berhadapan dengan 80.000 prajurit Mesir. Hal ini membuat Israel “shock” dan terpaksa menarik mundur pasukannya dan kemudian melakukan serangan balik yang gagal pada tanggal 8 dan 9 Oktober 1973.
Melihat keadaan semakin genting, malam hari tanggal 10 Oktober 1973 AS meluncurkan bantuan militer terhadap Israel setelah US memperkuat persenjataan Mesir. Saat itu, Israel telah berhasil menguasai kembali sebagian besar wilayah Golan bagian Selatan. Pada tanggal 11 Oktober 1973 Israel mulai menyerang Syria dari Dataran Tinggi Golan, namun belum dapat dikatakan sebagai awal dari kegemilangan Israel dalam Perang Youm Kippur ini.
Letak kesalahan terbesar Israel dalam perang ini adalah kesombongannya terhadap bangsa Arab dengan mengabaikan ancaman-ancaman Presiden Anwar Sadat dan terlalu meremehkan semangat bangsa Arab. Sehingga, tidak heran jika tentara Israel yang begitu percaya diri dengan pertahanan militernya harus tercengang melihat serangan dua negara koalisi Arab yang membabi buta.
Serangan Balik Israel
“Shock” yang dihadapi Israel tidak membuat pertahanan militernya jera. Setelah melakukan jebakan dengan menggasak lading ranjau dan sarang-sarang personel antit-tank, Pasukan tank 7th Armored Brigade milik Israel melaju ke lokasi pertahanan yang strategis di kaki Gunung Hermon dari sebelah Utara. Serangan yang dilancarkan dari empat titik ini, yaitu sayap kiri dan kanan serta arah utara dan tengah berhasil menghancurkan pertahanan Suriah di Dataran Tinggi Golan. setelah berhasil menghancurkan sebagian besar divisi tank Irak yang saat itu ikut membantu Suriah.
Setelah berhasil memukul mundur Suriah dan Irak, Di bawah pimpinan Jenderal Ariel Sharon, Israel telah mematangkan siasat untuk menyerang balik Mesir dengan menyeberangi Terusan Suez yang dinamakan Operation Gazelle. Operasi ini akan dilakukan oleh tiga divisi lapis baja, menyeberangi terusan Suez dari Deversoir, sebelah utara Great Bitter Lake.[4]
Pada tanggal 15 Oktober 1973 dengan bantuan dari udara, pasukan Israel bergerak menyeberangi Terusan Suez. Pasukan Israel ini dibagi ke dalam dua divisi yang akan mengikuti jalur pasukan Sharon untuk melakukan penetrasi di bagian barat Terusan. Kedua divisi tersebut adalah Divisi Pasukan Lapis Baja Cadangan 162 pimpinan Mayjen Avrahan Adam yang akan masuk dari sebelah utara Sinai dan divisi pasukan Mayjen Kalman Magen yang bergerak dari arah selatan Sinai. Untuk melancarkan aksi ini Israel membentangkan jalan rely eng terbuat dari 100 baja gulung yang dikenal dengan jalan Akavish dan Tirtur.
Rencana Israel ini tidak berjalan mulus seperti yang dibayangkan, kerena gelagat masuknya pasukan Israel dari Devorsoir telah tercium oleh Mesir ketika pengiriman Tirtur terlambat. Oleh karena itu, pertempuran hebat terjadi pada malam harinya di wilayah Chinese Farm. Dalam pertempuran hebat ini Israel hampir kembali pada titik kekalahannya dengan banyaknya pasukan yang tewas dan 70 tank milik Israel hancur. Pasukan Israel pun ditarik kembali ke great Bittler Lake.
Dengan demikian, Komandan Tertinggi Israel, Moshe Dayan memerintahkan pasukan untuk tidak menerskan penyeberangan sampai jembatan yang akan diapungkan itu benar-benar selesai. Pada tanggal 17 Oktober 1973 jembatan itu tela terbentang sampai Chenese Farm. Pertempuran hebat pun terjadi antara Mesir-Israel. Di lain pihak, Mesir dan Syria berhasil membujuk OAPEC untuk melakukan embargo minyak terhadap negara-negara pendukung Israel dengan sasaran utama adalah AS, Belanda, dan negara-negara Eropa lainnya. Krisis di luar medan perang pun terjadi dan menggelisahkan seluruh dunia. Pasalnya, keputusan embargo minyak ini tidak hanya diberlakukan untuk negara-negara sasaran, melainkan untuk negara-negara di dunia dikecualikan bagi negara-negara yang dinilai bersahabat.
Pada tanggal 21 Oktober 1973 Israel dibawah pimpinan Mayjen Avraham Adan mengepung Egyptian Third Army. Sampai tanggal 22 Oktober, ketika Israel berhasil mengambil alih posisi Syria di Gunung Hermon, DK PBB melalui resolusi 338 yang dihasilkan dari rembukan Menlu AS Henry Kissinger dan Leonid Brezhnev menyerukan gencatan senjata antara Arab-Israel. Akan tetapi, pertempuran tetap berlanjut di antara kedua negara bersekutu itu meskipun dengan gencatan senjata. Sampai pada tanggal 25 Oktober 1973 PBB mengeluarkan dua resolusi untuk menghentikan pertempuran Youm Kippur secara total. Tiga hari sejak resolusi ini diberlakukan, PBB meletakkan pasukannya di garis depan pertempuran.
Perang ini telah membawa hasil gemilang bagi Israel, karena keberhasilannya dalam mematahkan pertahanan negara koalisi Arab. Namun, keberhasilannya di medan pertempuran tidak berlaku di dunia diplomasinya. Pasalnya, pasca perang 1973 ini banyak terjadi protes di Israel yang menyababkan Perdana Menteri Golda Meir dan Menteri Pertahanan Moshe Dayan dari Partai Buruh serta Panglima Angkatan Bersenjata Israel, David Eliazar, harus mengundurkan diri.

Peran Amerika Serikat dalam Perang Youm Kippur
Sebagai negara adidaya barat yang ambisius, AS memiliki beberapa kepentingan mendasar atas negara Timur Tengah khususnya dalam dunia politik. Kepentingan politik Amerika Serikat ini dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya akses terhadap minyak di kawasan Timur Tengah dengan harga yang wajar, terutama diwilayah Jazirah Arab; Amerika senantiasa menjaga serta melestarikan survival dan keamanan Israel.
Telah diketahui bahwa kuatnya hubungan antara Amerika Serikat dengan Israel diliputi berbagai faktor, salah satunya adalah untuk menghindari konfrontasi dengan Uni Soviet yang dapat menarik kedua Negara adikuasa tersebut dalam suatu perang nuklir dan mengusahakan sejauh mungkin terlaksananya prinsip-prinsip politik luar negeri Amerika. Selain karena kepentingan AS dan Israel selalu berada di satu jalan yang sama, Amerika memiliki beberapa alasan atas dukungannya terhadap Israel, diantaranya karena hubungan sosiokultural diantara kedua Negara tersebut, adanya penerimaan orang Yahudi sebagai kelompok etnik Amerika yang produktif, dan menurut Amerika Serikat, Israel adalah benteng demokrasi dan keegaliteran melawan Negara-negara Arab. Lebih daripada itu lobi Israel atas Amerika di Parlemen AS juga begitu kuat. Salah satunya adalah Komite Urusan publik Israel-Amerika atau AIPAC yang dulunya bernama Dewan Zionis Amerika untuk Urusan Publik merupakan lobi utama yang mendukung Israel di AS sejak tahun 1951.[5]
Dalam perang Youm Kippur ini AS memegang peranan penting dibalik kekuatan Israel. Beberapa peran AS di balik tirai kemenangan Israel dalam perang 1973, diantaranya:

Bantuan Militer untuk Israel dalam Perang Youm Kippur
Bantuan AS untuk Israel setiap tahunnya melebihi bantuan AS terhadap negara-negara lain. Meskipun dalam hukum pemerintah AS dapat menghentikan semua bantuan Pada tanggal 15 Oktober 1973, 10 hari setelah serangan Mesir, Israel menyerang dan menerobos pertahanan Mesir di wilayah tengah Sinai. Hal ini menyebabkan terpisahnya Egyptian Second Army yang berada di kota Ismailiyah dan Egyptian Third Army di wilayah Suez. Ini merupakan pertempuran paling berat ketika tank-tank Israel menghadapi tank Mesir di wilayah utara dan selatan.
Pada saat situasi perang semakin genting dan pertahanan Israel melemah, selayaknya seorang Ibu yang ingin menyelamatkan anaknya, Amerika Serikat dengan segera memperkuat persenjataan Israel dengan melakukan airlift opertion. Di lain pihak Mesir juga dibantu oleh Uni Soviet dalam hal persenjataannya.
Ketika itu, AS lebih memilih untuk mengabaikan klaim-klaim terhadap tindakannya yang datang dari tokoh-tokoh militer AS dan hampir seluruh anggota NATO. Pasalnya, AS mengirimkan senjata vitalnya yang berada di berbagai pengkalan NATO untuk Israel dan menerbangkan pesawat transport bermuatan peralatan militer dengan jumlah yang besar untuk Israel. Ketika itu seluruh anggota NATO menolak negaranya disinggahi oleh pesawat-pesawat tersebut, kecuali Portugal. Lebih dari itu, perbekalan dan peralatan militer untuk Israel tersebut langsung diantarkan ke medan perang di Semenanjung Sinai. Setelah itu AS juga mengirimkan persenjataan tambahan untuk Israel.
Selain itu, ketika Israel melakukan serangan balik di daerah Golan, Amerika Serikat melalui operation Nickel Grass melakukan suplai senjata terhadap Israel sejumlah 22395 ton dengan menggunakan pesawat angkut Lockheed C-141 Starlifter dan C-5 Galaxy. Sedangkan melalui jalur laut, Amerika Serikat menyuplai senjata dan logistik untuk Israel berupa 40 pesawat F-4 Phantom. 36 A-4 Skyhawk, 12 C-130 Hercules, dan tank-tank[6]

Proses Gencatan Senjata
Pada 16 Oktober 1973, presiden Mesir, Anwar Sadat menghimbau suatu gencatan senjata dan penarikan mundur Israel dari seluruh wilayah yang direbut pada tahun 1967. Hal ini membuat pihak AS sebagai negara penguat Israel untuk bertindak. Pada tanggal 20 Oktober 1973, menteri Luar Negeri Amerika, Henry Kissinger terbang ke Moskow menemui Sekjen Partai Komunis, Leonid Brezhnev untuk membicarakan pentingnya kedua negara superpower mendukung gencatan senjata antara Mesir-Israel.
Pada 22 Oktober 1973, Dewan Keamanan PBB mendeklarasikan perdamaian dan mengeluarkan sebuah resolusi yaitu resolusi 338 yang memiliki arti penting. Resolusi 338 sesungguhnya hanya memperkuat dan mengulangi kembali resolusi 242 tahun 1967. Secara garis besar resolusi DK PBB bernomor 338 tersebut berisi tentang pemberhentian kegiatan perang yang dilakukan Mesir-Israel dengan batas waktu tidak lebih dari 12 jam setelah disahkan keputusan tersebut. Resolusi 338 ini juga menghimbau pihak-pihak terkait untuk melakukan gencatan senjata. Pada point ke-3 dalam resolusi ini DK PBB dengan tersirat menyindir kedua negara adidaya, AS dan US.

Dampak Perang Youm Kippur
Pada kenyataannya perang yang berlangsung selama kurang lebih 20 hari ini memiliki scenario yang berbeda diantara perang Arab-Israel lainnya. Perang ini hanya berakhir di medan pertempuran, sedangkan guncangannya masih dirasakan oleh negara-negara di dunia. Lebih menyedihkannya lagi, perang Youm Kippur ini lebih banyak melahirkan dampak negatif bagi negara-negara di dunia, diantaranya:

  • Krisis Energi


Pada saat perang memanas, Mesir dan Syria berhasil membujuk OAPEC dan OPEC untuk melancarkan embargo minyak dengan sasaran utamanya adalah AS, Belanda, dan negara-negara Eropa lainnya pendukung Israel. Embargo minyak pun dilancarkan sebagai bentuk simpati terhadap perjuangan negara koalisi Arab yang sedang berperang. Selain itu, menurut sudut pandang OAPEC bahwa AS dan negara-negar barat pengimpornya telah memaksakan harga yang jauh lebih rendah dari harga gandum.
Apapun alasannya, karena OAPEC dan OPEC merupakan penyuplai utama minyak dunia, embargo yang dilancarkan tersebut telah menciptakan krisis energi, inflasi, dan resesi ekonomi yang memprihatinkan, terutama bagi negara-negara non-komunis.[7]Dampak ini semakin terasa pada saat menjelang tahun 1974 dimana harga minyak melambung tinggi empat kali lipat dari harga sebelumya. Krisis ini juga memporakporandakan harga saham di Bursa Saham New York yang akhirnya harus kehilangan 97 miliar dollar dalam kurun waktu enam minggu.
Serangan embargo ini akhirnya dapat dinetralisir pada bulan Maret 1974. Namun demikian, krisis energi ekonomi dunia yang telah terlanjur bergulir tetap tidak dapat dihentikan. Hingga pada tahun 1980, enam tahun setelah perang Youm Kippur, AS didera inflasi yang sangat memprihatinkan sepanjang sejarah perekonomiannya.

  • Ancaman Perang Nuklir

Dampak pasca perang Youm Kippur ini juga mengguncang dunia perpolitikan. Sebagaimana pelanggarannya terhadap resolusi 242, Israel juga kembali mengabaikan resolusi DK PBB no 338 yang berakibat pada kemarahan Uni Soviet. Tentu saja kemarahan US ini langsung kepada Amerika Serikat yang berada di balik tirai Israel. US menuduh bahwa AS telah melakukan kecurangan dengan membiarkan Israel terus melakukan seranga.
Ketegangan pun terjadi ketika US mengancam akan menjadikan perang Youm Kippur lebih mendunia. Saat itu, pihak US telah mempersiapkan pertahanan militernya dan tinggal menunggu perintah dari AB US. Hal ini pun ditanggapi oleh pihak AS dengan serius. Saat itu Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger merasa bertanggung jawab atas kelalaiannya memberlakukan hasil rembukannya dengan pihak US itu.
Atas arahan Kissinger, Nixon kemudian memberi jawaban bahwa Mesir boleh jadi telah melakukan sejumlah kesalahan, namun ia berjanji untuk mengontak Israel agar menghentikan serangan. Namun demikian, pihak AS tengah menandingi persiapan pertahanan militer di sekitar Mediterania dengan menaikkan status kondisi pertahanannya dari siaga empat menjadi siga tiga. Hal ini membuat pihak US terkejut. Lebih dari itu, pihak AS juga melayangkan ancaman kepada presiden Anwar Sadat jika negaranya tidak segera menanggalkan dukungan persenjataan dari US.
Melihat situasi semakin menghawatirkan, DK PBB pun kembali mempertemukan semua pihak dan mengeluarkan resolusi 339 sebagai perjanjiann gencatan senjata tahap kedua. Pada akhirnya US bersedia menerima kekalahan Arab.

  • Terbunuhnya Presiden Anwar Sadat

Di Mesir, respon rakyat terhadap perang Youm Kippur ini terbagi ke dalam tiga golongan. Ada yang menganggap ini sebagai prestasi Arab dan ada juga yang menilai bahwa ini adalah ajang politik manure Anwar Sadat untuk mendekatkan diri dengan AS. Selain itu, ada juga yang menganggap bahwa perang ini tidak lain adalah upaya Sadat untuk mengalihkan perhatian publik atas krisis ekonomi yang tengah melanda Mesir. Perlu diketahui bahwa Anwar Sadat terkenal dengan sebutan Arsitek Perang Youm Kippur 1973[8].
Popularitas presiden Mesir ini memang melambung pasca perang Youm Kippur, bahkan dia sempat dinyatakan sebagai pahlawan. Namun, berbagai kecaman datang dari sekelompok orang yang memandang perang Youm Kippur sebagai payung manuver politk Sadat untuk lebih mendekatkan diri dengan AS. Di kaca mata mereka, Sadat telah melakukan hal ini tanpa memperhatikan lagi harga diri bangsa Arab dan lebih memilih untuk menanggalkan keanggotaan Mesir dari Liga Arab.
Kedekatan Sadat dengan AS terjadi menjelang pengambilalihan kembali wilayah Sinai yang dikuasai Israel. Selanjutnya, AS mempertemukan Mesir dan Israel untuk merundingkan perjanjian damai. Akhirnya perjanjian damai antara Mesir-Israel ini pun dilakukan pada tanggal 5-17 September 1978 di Camp David dan kemudian ditandatangani pada tahun selanjutnya. Sinai pun berhasil direbut kembali oleh Mesir.
Namun, pada sebuah parade kemiliteran di hari peringatan ke-8 Yom Kippur, sejumlah tentara tiba-tiba melompat dari sebuah truk dan berlari ke podium tempat Anwar Sadat berdiri. Dalam hitungan menit, tubuh sang pahlawan itu pun roboh di ujung senapan sekelompok orang yang tak dikenal. Kegemilangan Mesir saat itu harus ditebus dengan nyawanya sendiri. 

  • Beberapa Perjanjian yang Berpengaruh dalam Perang 1973

Resolusi Dewan Keamanan PBB No 338
Resolusi ini disahkan pada tanggal 22 Oktober 1973. Isi dari resolusi ini terdapat tiga poin berupa himbauan dan keputusan. Dewan Keamanan PBB menghimbauuntuk menghentikan perang tidak melewati batas waktu 12 jam setelah disahkan keputusan ini. Dewan keamanan juga menghimbau agar pihak-pihak yang terkait segera menghentikan tembak menembak setelah dilaksanakan resolusi dewan keamanan nomor 242 tahun 1967. Dewan Keamanan Juga Memutuskan agar negosiasi-negosiasi segera dilaksanakan untuk menegakkan perdamaian yang adil dan abadi di Timur tengah[9].

  1. Perjanjian Sinai I

Perjanjian ini merupakan hasil dari Shutlle Diplomacy yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger untuk melerai pasukan Mesir dan Israel.
Persetujuan Sinai I ditandatangani pada 18 Januari 1974. Isinya adalah tentang penarikan mundur pasukan-pasukan Israel dari posisi mereka di sebelah timur Terusan Suez[10]. Sedangkan Persetujuan Sinai II ditandatangani oleh Mesir dan Israel pada 4 September 1975[11].
Persetujuan ini membawa kontroversi besar di dunia Arab. Masalahnya adalah Mitlea dan Giddi yang ditinggalkan Israel tidak dikembalikan oleh kepada Mesir, tetapi menjadi zona netral yang diawasi teknisi Amerika Serikat. Penempatan orang-orang AS di Mitle dan Giddi menjadi sama saja dengan meneruskan status quo. Sebagian Sinai dan Gaza tetap saja dibawah Israel. 

2. Perjanjian Camp David
Antara perjanjian Sinai I dengan Perjanjian Sinai II, Kissinger berhasil membuat persetujuan antara Suriah-Israel yang isinya mirip dengan persetujuan Mesir dan Israel.
Pada 5 Juni 1974, persetujuan Israel-Suriah ditandatangani yang isinya tentang ketentuan evakuasi pasukan Israel dari dataran tinggi Golan, walaupun sebagian besar Golan tetap dalam pendudukkan Israel.
 
3.  Persetujuan Sinai II
Persetujuan Sinai II ditandatangani oleh Mesir dan Israel pada 4 september 1975 yang berisi:
* Penarikan mundur pasukan Israel dari daerah Mittla dan Giddi, di bagan tengah Semenanjung Sinai. penempatan pasukan Mesir ke dekat garis pertahanan Israel dan menetapkan sebuah zona netral dengan Pasukan PBB yang berada didalamnya.
* Penepatan teknisi Amerika Serikat untuk memonitor sistem radar di daerah Mitta dan Gildi serta kesediaan Mesir untuk mengizinkan kapal-kapal non militer yang menuju Israel melewati terusan suez.
Persetujuan ini membawa kontroversi besar di dunia Arab. Masalahnya adalah Milta dan Giddi yang ditinggalkan Israel tidak dikembalikan oleh kepada Mesir, tetapi menjadi zona netral yang diawasi teknisi Amerika Serikat. Penempatan orang-orang AS di Milta dan Gidli menjadi sama saja denan meneruskan status quo. Sebagian Sinai dan gaza tetap saja dibawah Israel.
Kissinger menyatakan bahwa Israel tidak akan mungkin tahan berperang lebih dari 9 hari tanpa meminta bantuan ke AS. Ketergantungan Arab ke Uni Soviet juga mirip dengan ketergantungan Israel ke AS[12].


KESIMPULAN
Perang Youm Kippur merupakan salah satu perang lanjutan dari perang 1967. Perang ini juga menjadi puncak dari serangkaian perang Arab-Israel. Melalui perang ini, negara Arab telah berhasil membuka mata Israel yang terlalu meremehkan kekuatan militer Arab. Selain itu, melalui perang ini negara Arab juga ingin menyampaikan kepada dua negara adidaya yang bersekutu dibalik tirai peperangan, Amerika Serikat dan Uni Soviet untuk memberlakukan resolusi 242 yang dikeluarkan DK PBB pada tahun 1967.
Dalam perang ini Israel sangat terlihat kelemahannya. Jika saja ketika itu AS tidak memperkuat persenjataan dan pertahanan militernya, Israel akan mundur dengan sukarela dengan tanpa melakukan serangan balik terhadap negara koalisi Arab tesebut. Dengan demikian, jelaslah peran AS bahwa AS adalah kekuatan Israel dan Israel bukanlah apa-apa tanpa bantuan AS. Over supply yang dilancarkan AS untuk Israel dalam perang 1973 ini tentulah dengan sederet tujuan tersirat sebagai bentuk politik luar negerinya terhadap negara Arab. Salah satu kepentingan politiknya adalah akses terhadap minyak di kawasan timur tengah dengan harga yang wajar, terutama diwilayah Jazirah Arab. Sebagaimana ketergantngan Israel terhadap AS, negara koalisi Arab ini juga bergantung pada Uni Soviet sebagai negara adidaya timur dalam Perang Youm Kippur.
Perang yang berlangsung selama kurang lebih 20 hari ini tidak hanya membawa dampak bagi negara-negara yang terlibat perang, melainkan juga negara-negara di dunia. Guncangan perang Youm Kippur ini sangat dirasakan oleh dunia, terutama ketika OAPEC dan OPEC melancarkan embargo minyak bagi negara-negara dunia. Selain itu, peperangan ini telah memicu ketegangan antara dua negara adidaya, AS dan US yang saat itu terancam dalam perang nuklir. Selain itu, dampak ini juga dirasakan oleh kedua negara yang bersekutu. Pasca perang Youm Kippur, Mesir harus menanggalkan keanggotaannya dari Liga Arab karena menandatangani perjanjian damai Arab-Israel tahun 1979 atau yang dikenal dengan Perjanjian Camp David. Kegemilangan yang diraih mesir di bawah pimpinan Anwar Sadat ini harus dibayar dengan nyawa presiden Mesir tersebut. Dilain pihak, Israel juga harus menerima kritik dari dalam negerinya sendiri yang mengakibatkan Israel harus kehilangan panglima-panglima Angkatan Bersenjatanya.
Sepanjang perjalanannya, perang Youm Kippur telah melahirkan sederet perjanjian baik yang dikeluarkan oleh PBB, maupun yang dirembukkan oleh pihak yang terkait. Perjanjian-perjanjian yang mewarnai jalannya peperangan ini, diantaranya resolusi DK PBB no 338 dan 339, Perjanjian Sinai I dan Sinai II, dan berakhir pada perjanjian Camp David atau perjanjian perdamaian Arab-Israel.

Hubungan Irak-As, Suku Kurdi & Tragedi Halabja


Hubungan Saddam-Amerika Serikat
"Dari Mitra Menjadi Musuh"
Tertangkapnya mantan Presiden Irak Saddam Hussein oleh pasukan Amerika Serikat hari Sabtu (13/12) lalu di Desa Al Dawar, dekat Kota Tikrit, mengingatkan kembali liku-liku hubungan Pemerintah Irak dan Saddam Hussein di satu pihak serta Pemerintah AS dan CIA di pihak lain.

Betapa hubungan kedua pihak
itu sangat didominasi oleh latar belakang kepentingan yang diciptakan situasi regional. Hubungan tersebut ternyata sangat rentan oleh dinamika perubahan besar selama lebih dari tiga dekade di kawasan Timur Tengah.

Amerika Serikat (AS) dan Saddam Hussein begitu mudah menjalin kemitraan strategis tatkala terjadi perubahan di kawasan yang melahirkan tantangan bersama kedua pihak tersebut. Mereka sebaliknya begitu cepat bermusuhan ketika terjadi lagi suatu perubahan yang mempertentangkan kepentingan mereka.

Itulah langgam dinamika hubungan AS dan Saddam selama lebih dari tiga dekade itu. Ironisnya, hubungan kedua pihak itu diakhiri oleh suatu adegan yang tragis. AS berandil besar memperkuat dan membesarkan Saddam, tetapi AS pula yang kini menghancurkan dan menggiring mantan Presiden Irak itu ke sel tahanan.

Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld khususnya memiliki goresan sejarah tersendiri dalam konteks hubungannya dengan Saddam. Rumsfeld adalah arsitek utama pemulihan hubungan Irak-AS pada tahun 1980-an dan dia pula yang paling menggebu-gebu ingin mengakhiri kekuasaan Saddam di Baghdad.

Sejak Presiden AS George Walker Bush mengungkit kembali isu Irak bulan Januari 2002, Pemerintah AS tak henti-hentinya mengangkat sejarah hitam Presiden Irak Saddam Hussein.

AS memberi fokus atas kekejian rezim Saddam Hussein yang telah menggunakan senjata kimia terhadap suku Kurdi di Halabja tahun 1988 yang membawa korban ribuan warga Kurdi tewas, membasmi dengan kekerasan atas gerakan intifada kaum Syiah tahun 1991, dan mengembangkan senjata pemusnah massal yang tidak hanya mengancam negara-negara tetangganya, tetapi juga rakyat AS.

AS menuduh rezim Saddam Hussein mencampakkan resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB yang melarang pengembangan senjata pemusnah massal semacam resolusi DK PBB No 687 tentang pemusnahan senjata pemusnah massal dan 12 resolusi lainnya. Bush meminta masyarakat internasional menggunakan kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan Saddam Hussein.

Di tengah aksi provokasi politik dan publikasi AS atas Saddam itu, Pemerintah AS berjanji menghancurkan singgasana Saddam Hussein.

AS dan Saddam sesungguhnya telah menjalin kemitraan strategis. Kemitraan tersebut hancur lebur akibat Irak melakukan invasi ke Kuwait tahun 1990. AS baru mengambil keputusan menumbangkan kekuasaan Saddam Hussein di Baghdad setelah tragedi 11 September 2001.

AS pun tidak segan-segan ibarat menelan air ludahnya sendiri dengan membakar dokumen hitam yang dipersembahkan sendiri kepada Saddam Hussein demi lestarinya kekuasaan Saddam Hussein dan kepentingan AS di Timur Tengah.

AS tidak ragu-ragu mendepak Saddam Hussein yang telah sekian lama menjadi anak binaan AS di Timur Tengah akibat kepentingan dan perimbangan kekuatan yang telah berubah.

Mitra strategis


Sejumlah laporan menyebut, hubungan Saddam dan CIA terjalin erat sejak meletusnya perang Irak-Iran tahun 1980. Namun, sesungguhnya hubungan itu telah terpatri jauh sebelumnya, yakni pada tahun 1959 ketika Saddam menjadi salah satu anggota tim percobaan pembunuhan yang gagal atas Presiden Irak saat itu, Abdul Karim Kasim.

Sejak akhir tahun 1950-an, CIA telah menggunakan Partai Baath untuk membendung kekuatan Partai Komunis yang mendukung kekuasaan Presiden Abdul Karim Kasim saat itu. AS menganggap koalisi Partai Komunis dan Presiden Abdul Karim Kasim merupakan ancaman terhadap kepentingan AS di kawasan Teluk dan Timur Tengah.

CIA menggunakan aktivis muda Partai Baath bernama Saddam Hussein yang masih berusia 20-an tahun untuk menggulingkan Presiden Abdul Karim Kasim. Percobaan pertama tahun 1959 mengalami kegagalan dan Saddam berhasil lari ke Suriah, lalu Lebanon, dan kemudian ke Mesir.

Ketika berada di Lebanon, Saddam Hussein dilaporkan sering keluar-masuk Kedubes AS di Kota Beirut. Pada Februari 1963, Partai Baath bekerja sama dengan militer berhasil membunuh Presiden Abdul Karim Kasim dan mengambil alih kekuasaan di Baghdad. CIA disebutkan berada di balik pembunuhan Presiden Abdul Karim Kasim itu.

Seorang aktivis Partai Baath saat itu, Ali Saleh Saadi, mengakui secara terus terang bahwa Partai Baath berhasil meraih kekuasaan berkat bantuan AS. Menurut Saadi, AS sangat cemas Irak masuk atmosfer politik Uni Soviet mengingat pengaruh kuat Partai Komunis kala itu terhadap pemerintahan Presiden Abdul Karim Kasim dan kalangan akar rumput massa Irak. AS pun memilih Partai Baath sebagai mitra politik di Irak untuk menggusur rezim Presiden Abdul Karim Kasim dan pengaruh Partai Komunis.

Pascapembunuhan Presiden Kasim, hubungan CIA dan Partai Baath semakin kuat untuk meredam pengaruh Partai Komunis. CIA saat itu menyerahkan kepada Partai Baath nama-nama tokoh Partai Komunis dan simpatisannya untuk ditangkap atau dibunuh.

Setelah Partai Baath kembali berkuasa pada tahun 1968, kontak antara Saddam Hussein (menjabat wakil presiden saat itu) dan CIA semakin intensif. Hubungan strategis Saddam dan CIA mencapai klimaksnya ketika meletus perang Irak-Iran tahun 1980.

Pada saat itu Irak mulai membeli gandum, pesawat komersial, dan mengirim pelajar-pelajar Irak untuk belajar pada berbagai universitas di AS. Irak juga membeli peralatan dan teknologi militer AS yang kemudian membantu Irak mengembangkan senjata kimia, biologi, dan peluru kendali (rudal) balistik.

Alkisah, pada tahun 1981 tiba di New York seorang perwira rendahan dari jajaran militer Irak bernama Abu Ali. Ia mengunjungi pabrik "American Steel" yang memproduksi bahan kimia, elektronik, dan mobil. Abu Ali waktu itu membeli sejumlah peralatan keamanan dan militer seharga sekitar 10 juta dollar AS.

Para pejabat pabrik itu menyambut hangat keinginan Irak membeli produk pabrik tersebut karena akan berandil meningkatkan hubungan AS-Irak dan menambah keuntungan pabrik itu sendiri.

Akan tetapi, para pejabat pabrik tersebut masih terheran-heran atas kerahasiaan identitas sebenarnya perwira Irak itu.

Ternyata kemudian diketahui bahwa perwira tersebut tak lain adalah Hussein Kamel Hassam Al Majid yang merupakan menantu Presiden Saddam Hussein dan terhitung orang kuat kedua di Irak saat itu (Ia tewas di Baghdad pada Maret 1996 sepulang dari pengasingannya di Jordania). Ia datang ke New York bersama mertua perempuannya, Sajidah Khairullah (istri pertama Saddam). Itulah awal Irak membeli peralatan canggih dari AS.

Irak kemudian membeli peralatan militer AS secara intensif yang sering pula dilakukan melalui pihak ketiga seperti lewat perantara Jordania dan Brasil.

Semasa perang Irak-Iran itu, CIA juga mengirim tim secara rutin pada Saddam Hussein untuk memberi informasi rahasia hasil data intelijen dan rekaman satelit AS yang membantu pasukan Irak dalam pertempuran dengan pasukan Iran.

Saddam pun menunjuk tiga perwira tinggi yang membidangi intelijen untuk melakukan pertemuan secara periodik dengan pejabat CIA.

Hubungan putus


Hubungan resmi AS-Irak sempat terputus pascaperang Arab-Israel tahun 1967 berdasarkan keputusan Presiden Abdurrahman Arif yang terus berlanjut hingga pertengahan tahun 1980-an.

Pada awal tahun 1980-an, Saddam sempat menolak menjalin kerja sama dengan CIA. Saddam berdalih Irak tidak bisa membuka hubungan intelijen dengan negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Baghdad. Namun, Saddam kemudian mengubah sikapnya dan akhirnya menerima kerja sama secara penuh.

Berlarut-larutnya perang Irak-Iran menyebabkan bersemainya benih persahabatan dan kerja sama antara Saddam dan CIA. Kerja sama intelijen Saddam-CIA itu telah membawa manfaat kepada kedua pihak selama perang Irak- Iran.

Irak, misalnya, mengambil manfaat besar dari informasi CIA tentang sasaran strategis Iran yang membuat Irak mudah menyerang sasaran strategis tersebut.

Masa perang Irak-Iran adalah masa keemasan hubungan AS-Irak. Berbagai transaksi perdagangan dan pembelian senjata buatan AS oleh Irak terjadi pada masa itu. Kedua pihak merasa saling membutuhkan.

Saddam berusaha melakukan normalisasi hubungan dengan AS meskipun hubungan Saddam dan Uni Soviet serta hubungan Partai Baath dan Partai Komunis Uni Soviet sangat kuat saat itu. Sebaliknya, AS menghendaki peningkatan hubungan dengan Saddam sekalipun Saddam dan Partai Baath memiliki catatan buruk dalam isu hak asasi manusia.

Presiden AS Ronald Reagan yang baru tiga bulan menjabat presiden saat itu sangat antusias untuk segera menjalin hubungan khusus dengan Irak. Hal itu disebabkan, pertama, meningkatkan perdagangan kedua negara. Kedua, membantu Irak dalam perang melawan Iran. Ketiga, negara-negara Arab Teluk meminta AS membantu Irak karena mereka takut kepada Iran yang baru berhasil menggerakkan revolusi.

Keberhasilan revolusi Iran pimpinan Ayatollah Imam Khomeini tahun 1979 tampaknya telah mendorong AS untuk memulihkan hubungan diplomatik lagi dengan Irak.

Pada 27 Februari 1982, Presiden Reagan mengirim rekomendasi kepada Kongres agar mencabut Irak sebagai negara pendukung teroris. Pada tahun itu pula Presiden Saddam Hussein menyampaikan kepada AS bahwa bila ingin ada peningkatan hubungan AS-Irak, AS harus memberi Irak lebih dari sekadar menjual senjata. Presiden Reagan lalu menyetujui memasok Irak dengan informasi intelijen tentang sasaran militer Iran.

AS pun mengirim penasihat militernya untuk menjelaskan isi informasi intelijen itu dan hasil rekaman satelit luar ruang angkasa kepada Irak, karena pihak militer Irak saat itu sering tidak mampu menafsirkan informasi intelijen tersebut.

Pihak AS waktu itu menyampaikan kepada Irak bahwa misi penasihat militer AS di Irak harus berlangsung lama seiring dengan berlarut-larutnya perang Irak-Iran. Saddam Hussein lalu mengizinkan AS membuka kantor intelijen permanen di Baghdad.

Selain itu, Saddam meminta AS agar mengirim Menteri Luar Negeri (Menlu) AS George Schultz ke Baghdad untuk menunjukkan bahwa AS benar-benar ingin membuka lembaran baru dengan Irak. AS menolak permintaan Saddam Hussein dengan alasan waktunya kurang tepat. Namun, Washington mengirim utusan khususnya, Donald Rumsfeld, ke Baghdad untuk menemui Saddam pada 17 Desember 1983.

Dalam pertemuan dengan Rumsfeld, Saddam meminta AS tidak mengirim senjata ke Iran. Sekembali ke Washington dari Baghdad, Rumsfeld menyampaikan permintaan Saddam itu kepada Presiden Reagan.

Beberapa bulan kemudian, Pemerintah AS menyampaikan kepada Saddam Hussein tentang dua keputusan, yaitu pertama, AS tidak akan mengirim senjata ke Iran dan kedua, mengizinkan Irak mendapat kredit ringan dari AS.

Kredit pertama yang diperoleh Irak dari AS sebesar 500 juta dollar AS. Saddam Hussein menggunakan dana tersebut untuk membangun pipa minyak dari Mosul ke Pelabuhan Aqaba–Jordania sebagai antisipasi kemungkinan Iran menyerang kapal-kapal tanker minyak Irak di Teluk Persia.

Hubungan AS-Irak terus berkembang. Pada 26 November 1984, Menlu Irak Tareq Aziz mengunjungi Washington, menemui Presiden Reagan. Pada pertemuan tersebut diumumkan dimulainya lagi hubungan diplomatik AS-Irak secara resmi yang telah terputus sejak tahun 1967.

Bermusuhan


Namun, persahabatan itu segera beralih menjadi hubungan konflik menyusul invasi Irak ke Kuwait tahun 1990. Kedua pihak saling menggunakan kelemahan lainnya yang sama-sama diketahui selama mereka bekerja sama.

Invasi Irak ke Kuwait tahun 1990 merupakan babak pertama dari proses penumbangan rezim Saddam Hussein. Ketika CIA pada 16 Juli 1990 mendeteksi gerakan militer Irak secara besar-besaran ke arah perbatasan dengan Kuwait, Presiden AS George Bush tidak segera memberi peringatan kepada Irak. Saddam menyerang Kuwait pada Agustus 1990.

Sejak tahun 1990 hingga tragedi 11 September 2001, AS menerapkan berbagai pola hubungan dengan Irak, antara lain yang terkenal konsep penanggal ganda AS atas Irak dan Iran. Konsep yang diperkenalkan mantan Deputi Menlu AS Urusan Timur Tengah Martin Indyk tersebut menjadi kebijakan AS selama periode Presiden AS Bill Clinton, 1992-2000.

Akan tetapi, pascatragedi 11 September 2001, AS menganggap Irak merupakan bagian dari jaringan teroris internasional yang mengancam kepentingan AS. Dalam pidato kenegaraan Presiden George W Bush pada 29 Januari 2002, Irak-bersama Iran dan Korea Utara-dimasukkan dalam poros kejahatan.

Pada Maret 2002, Presiden Bush mengirim Wakil Presiden (Wapres) AS Dick Cheney ke sembilan negara Arab, plus Israel dan Turki, untuk konsultasi dan klarifikasi pendapat para pemimpin negara tersebut tentang program aksi serangan AS ke Irak.

Seusai pidato kenegaraan Presiden Bush dan lawatan Wapres Dick Cheney ke Timur Tengah itu, tekad AS semakin transparan untuk mendongkel kekuasaan Saddam Hussein di Baghdad. Skenario itu dijalankan AS dengan memulai menyerang Irak pada 20 Maret lalu dan menduduki Kota Baghdad pada 9 April lalu, serta berhasil menangkap Saddam Hussein, 13 Desember lalu. Itulah sebuah akhir yang tragis dari hubungan AS dan Saddam Hussein. (KCM)

(Musthafa Abd Rahman, dari Cairo)


Mesin Perang di Punggung Saddam

http://www.tempo.co.id/harian/fokus/2006/2,1,33,id.html24-3-2003 / 11:00 WIB
TEMPO Interaktif, Bagdad 

Waktu membuktikan kesetiaan Izzat Ibrahim kepada sahabatnya, sang diktator Saddam Hussein. Jabatannya saat ini adalah wakil Komandan Dewan Komando Revolusioner, yang berarti wakil bagi sang Komandan Saddam Hussein. Sejarah hidup dua sahabat itu dimulai ketika bersama Saddam dan Taha Yassin Ramadhan, ketiganya terlibat dalam kudeta partai Baath yang gagal tahun 1968.
Sejak itu, Ibrahim dikenal sebagai orang nomor dua di Irak sekaligus kepercayaan Saddam dan wakil komandan pasukan militer Irak. Dalam strategi terakhir detik-detik terakhir sebelum invasi Amerika ke Irak dimulai Kamis lalu, Ibrahim ditempatkan sebagai komandan militer wilayah sebelah utara Irak.
Izzat lahir tahun 1942 dari keluarga penjual es di dekat desa Tikrit, kota kelahiran Saddam yang dalam invasi Amerika ke Irak dijaga dengan kekuatan terbesar setelah Bagdad. Dia bergabung dengan partai Baath dan posisinya langsung meroket pesat setelah kudeta tahun 1968. Sekitar tahun 1970, Ibrahim menjadi menteri dalam negeri sekaligus menteri pertanian. Puterinya pernah menikah dengan putera sulung Saddam, Uday.
Siapa pun yang mengenang tragedi pembantaian suku Kurdi di Halabja, sebelah utara Irak pada tahun 1988 lalu, akan mengingat namanya. Ibrahim adalah pejabat tinggi pemerintahan yang bertanggungjawab atas wilayah utara Irak, ketika ribuan orang suku Kurdi dibantai dengan gas kimia yang diimpor terutama dari Amerika Serikat. Ketika Perang Teluk 1991 terjadi, The New York Times mencatat Ibrahim mengingatkan suku Kurdi agar tidak macam-macam. "Kalau anda lupa dengan Halabja, saya ingin mengingatkan kita siap mengulangi serangan itu."
Seperti halnya Ramadan dan Tariq Aziz, Ibrahim banyak bepergian keluar negeri. Secara reguler ia mewakili Saddam dalam pertemuan dengan negara-negara Arab. Dia sempat menjadi ketua Serikat Parlemen Arab di Bagdad September lalu, yang meminta solidaritas Arab menghadapi ancaman 'Zionis Amerika,' dan tak gentar menebarkan ancaman pada sesama negara Arab agar tidak mendukung Amerika.
Dalam konferensi Liga Arab di Beirut tahun lalu, Ibrahim menarik perhatian publik dengan bersalaman dengan Menteri Luar Negeri Kuwait dan memeluk putera mahkota Saudi, meski keduanya telah terang-terangan menolak berhubungan langsung dengan Irak. Bahkan, Ibrahim mengatakan ia menghormati wilayah berdaulat Kuwait. Tapi, dalam pertemuan darurat Liga Arab yang terakhir di Doha, Qatar Maret lalu, perilakunya agak kelewatan ketika di tengah-tengah konferensi, Ibrahim dan perwakilan dari Kuwait terlibat perang mulut. Kata-kata seperti 'monyet' dan 'pengkhianat' pun berhamburan di tengah sidang.
Tahun 1998, Ibrahim sempat menghadapi usaha pembunuhan ketika serangan granat menimpanya di kota Karbala. Ia didiagnosis mengidap leukaemia beberapa tahun lalu, yang mengantarnya ke Wina, Austria, pada 1999 untuk berobat pribadi. Pemerintah Austria yang memberikannya visa satu bulan dengan alasan berobat, langsung menuai kritik tajam. Salah satu partai politik menuding pemerintah membiarkan 'penjahat perang' diam-diam memasuki Austria tanpa menginformasikannya pada masyarakat. Ketika keberadaannya mulai tersebar, Ibrahim buru-buru pergi sebelum ancaman akan penangkapan dirinya sebagai penjahat hak asasi manusia terwujud. Dalam forum-forum terbuka, Ibrahim tak pernah gentar menunjukkan sikap bermusuhan dengan Amerika. Menurutnya, Irak siap menghadapi genderang perang Amerika dan menjanjikan perlawanan habis-habisan bila serdadu Amerika menyerang negerinya. Saat ditanya tentang tudingan Amerika yang menghubungkan Irak dengan Usamah bin Ladin dan sel-sel jaringan Al Qaidahnya, Ibrahim mengatakan, negerinya tak mau memusingkan diri dengan Bin Ladin.
"Setiap rumah Irak adalah sel tempur. Di setiap desa, di semua kota, rakyat Irak sudah siap melawan Amerika. Tukang gembala adalah sel tempur, petani adalah sel tempur. 25 juta rakyat Irak akan melawan mereka," pekiknya. (bbc/afp/adl/kurie suditomo – koran tempo)


Kurdi dan AS Berusaha Rebut Mosul

6-4-2003 / 11:28 WIB
Thttp://www.tempo.co.id/harian/fokus/2006/2,1,87,id.htmlEMPO Interaktif, KHAZER, IRAK UTARA 

Milisi Kurdi dan tentara Amerika Serikat terus berusaha merebut Mosul, kota terbesar di bagian utara. Tapi Kurdi berhati-hati tidak mengambil alih Kirkuk, kota penting lain di utara, karena bisa memancing pasukan Turki masuk Irak utara.
Milisi Kurdi pada Kamis lalu bertempur dekat Khazer, persimpangan strategis antara Mosul-Bagdad. Pertempuran begitu sengit sehingga komandan pasukan khusus Kurdi, Waji Barzani, mengatakan, “Fron di utara sudah dimulai.”
Pertempuran dimulai sekitar pukul 9.00 pagi waktu setempat (13.00 WIB) di kota yang hanya berjarak 30 kilometer dari Mosul itu. Sekitar 250 tentara Irak, yang berusaha mempertahankan sebuah pangkalan militer di Khazer, bertahan dari tembakan dan mortir sekitar 120 Kurdi dan Amerika Serikat.
Saat Irak mulai menggunakan meriam 60 mm dan 120 mm, pesawat tempur Amerika Serikat dan Inggris diminta datang membantu dengan bom. Tujuh tentara Amerika Serikat yang ikut bertempur, memandu pengeboman itu. Selama sekitar satu jam, Khazer menjadi bulan-bulanan bom.
Selesai pengeboman, beberapa anggota pasukan Irak tidak hanya bertahan tapi maju menyerang beberapa posisi Kurdi. Akibatnya, pasukan Amerika Serikat yang membantu ketakutan sehingga bersembunyi di sebuah bunker. Mereka kembali memanggil pesawat-pesawat pengebom.
Khazer memiliki jembatan yang menjadi akses penting untuk masuk Mosul. Dari situ juga bisa mengarah ke wilayah Bardarash, tempat pasukan Irak mengundurkan diri sehari sebelumnya.
Pada saat yang sama, pasukan Kurdi dan Amerika Serikat terus bergerak menuju Kirkuk, kota minyak terbesar di Irak utara. Mereka terus menyerang tentara Irak dan berulang-ulang meminta pesawat Amerika Serikat datang untuk mengebom wilayah-wilayah tertentu.
Meski begitu Uni Patriotik Kurdistan (PUK), satu dari dua faksi Kurdi yang menguasai Irak utara, menyatakan tidak akan mengambil alih Kirkuk atas nama Kurdi. “Jika itu dilakukan sebagai musuh Irak dan bersama-sama pasukan koalisi,” kata Barham Salih, PM PUK.
Turki cemas jika Kirkuk dikuasai Kurdi dan mereka menyatakan merdeka, mereka akan menjadikannya sebagai semacam ibu kota. Jika ini terjadi, Kurdi di Turki akan makin kuat keinginan memberontaknya.
Akibatnya Turki menempatkan ribuan pasukan sepanjang perbatasan Irak dan siap masuk jika Kurdi melakukan gerakan-gerakan yang dicurigai. Amerika Serikat bahkan harus menenangkan Ankara dengan menyatakan Kurdi tidak akan lepas dari Irak dan tidak akan mengambil alih Kirkuk.
Amerika Serikat tidak mendapat ijin Turki untuk menempatkan 62 ribu pasukannya di wilayah itu. Mereka hanya mendapat ijin menggunakan wilayah udara Turki. Akibatnya, mereka tidak bisa membuka fron utara dengan besar-besaran seperti di selatan. Mereka saat ini hanya mempunyai sekitar 1.200 tentara reguler dan beberapa ratus pasukan komando.
Tapi Amerika Serikat akhirnya bisa mendapat ijin untuk pasokan logistik dan tiga hari kemarin iring-iringan pasokan ini tiba Irak utara. Turki tidak membolehkan logistik pertempuran, seperti amunisi lewat wilayahnya, tapi kemarin tanpa 40 jip tempur Defender 110 Land Rovers yang siap dipasang senjata di bak belakangnya.
Saat ini kendaraan tempur Amerika Serikat hanya sejumlah jip Humvee yang dilengkapi senapan mesin. Mereka sama sekali tidak bisa mendatangkan tank seperti di wilayah selatan. Akibatnya, jika mendapat balasan artileri, mereka terus meminta bantuan pesawat tempur. (afp/ap/msnbc/nurkhoiri – tempo news room)
 
Saddam Siapkan Bom Pemusnah
6-4-2003 / 11:48 WIB
http://www.tempo.co.id/harian/fokus/2006/2,1,93,id.html
TEMPO Interaktif, Bagdad 

Walaupun praktis sudah mengepung rapat Bagdad, pasukan Amerika kemarin belum memutuskan untuk menyerbu masuk. Konsentrasi pasukan mereka masih berada dalam jarak antara 15 sampai 20 kilometer di luar kota. Kepungan itu tidak mendapat perlawanan berarti dari pihak Irak. Meski demikian, pasukan Amerika cemas dalam situasi terpojok seperti sekarang Saddam Hussein akan mengeluarkan senjata pamungkasnya, bom kimia dan biologis.
Kemarin, penggempuran Bagdad dari jet-jet tempur relatif berkurang dari sebelumnya. Namun, perlawanan dari Irak terlihat ketika sebuah bom mobil bunuh diri meledak di bagian barat laut kota, dekat sebuah pos pemeriksaan yang dijaga pasukan khusus Amerika. Bom ini menewaskan tiga tentara Amerika, pengemudi mobil dan seorang perempuan yang ikut dalam mobil.
Perlawanan juga terlihat di seputar Bandara Internasional Saddam, 20 kilometer di tenggara Bagdad. Sebelumnya, pasukan Divisi Infanteri Ke-3 mengklaim telah menguasai bandara terbesar Irak ini. Namun, kemarin, tembak-menembak terjadi ketika pasukan Irak yang mengambil posisi di salah satu hanggar melepas tembakan artileri.
Pihak Amerika segera membalas tembakan ini dengan artileri dan bantuan pengeboman dari jet-jet tempur. Tampak pula sebuah pesawat A-10 Thunderbolt, pesawat khusus untuk melawan tank, milik Amerika meliuk-liuk di atas bandara, melepas bom pembunuh tank dan menghujani posisi pasukan Irak dengan rentetan meriam Vulcan. Tadi malam, Amerika mengklaim bandara telah sepenuhnya mereka kuasai. Namun, wartawan BBC melihat pasukan Irak yang terdesak di bandara telah menerima tambahan pasukan dari luar. Kemarin, Bagdad masih gelap gulita karena listrik mati. Tidak diketahui apakah padamnya listrik akibat pengeboman oleh pasukan Amerika atau karena perintah dari pihak Irak. Dalam kegelapan malam, sesekali langit Bagdad menyala merah ketika bom-bom Amerika meledak. Pengeboman sepanjang Jumat kemarin dipusatkan di wilayah tenggara Bagdad, lokasi yang diduga menjadi kantong pertahanan pasukan Garda Republik.
Meski tidak terlihat perlawanan berarti dari pihak Irak, pasukan Amerika memutuskan tidak segera masuk Bagdad. Jenderal Richard Myers, Kepala Staf Gabungan Amerika mengatakan, pihaknya tidak mau terpancing dalam perang di dalam kota Bagdad yang akan memakan banyak korban sipil.
Myers mengisyaratkan bahwa pasukan Amerika akan mengambil strategi mengepung Bagdad sambil meneruskan pengeboman. "Di saat yang sama, pasukan koalisi akan merancang pemerintahan baru pengganti Saddam yang akan segera efektif begitu Saddam jatuh," kata Myers di Pentagon, Amerika, kemarin.
Para analis militer menduga, strategi ini dijalankan karena Pentagon ingin mengisolasi kekuatan Saddam Hussein. Dengan pengepungan kota, diharapkan warga Bagdad yang terancam kelaparan akibat putusnya jalur distribusi, terbatasnya air karena listrik mati, bersedia mengungsi keluar kota. Dengan demikian, saat pasukan Amerika menyerbu masuk Bagdad, korban sipil bisa diminimalisasi. Meski begitu, Pentagon membantah matinya listrik di Bagdad adalah bagian dari strategi tersebut.
Taktik pengepungan juga dilakukan karena Amerika menduga Saddam akan melepas bom kimia dan biologisnya. Sejak invasi Amerika ke Irak dua pekan lalu, belum ada bukti Saddam berupaya menggunakan bom mautnya. Namun, Amerika melihat bahwa anggota pasukan Irak yang tertangkap atau tewas semuanya membawa masker dan baju antisenjata kimia dan biologi. Dalam sweeping di kompleks industri Latifiyah kemarin, pasukan Amerika juga menemukan ribuan kotak berisi cairan yang diduga salah satu unsur bom kimia. Dari bukti-bukti itulah, pasukan Amerika, terutama divisi marinir yang mengepung di bagian tenggara Bagdad, telah diperintahkan mengenakan baju penangkal bom maut, meski udara gurun sangat pengap. Kesiagaan atas kemungkinan serangan bom kimia dan biologi juga dilakukan karena Menteri Penerangan Irak Mohammad Said al-Sahhaf lagi-lagi mengeluarkan ancaman. "Pasukan Amerika akan menghadapi perang yang sama sekali tidak biasa," kata dia di televisi Irak Jumat malam. (afp/ap/cnn/daru p – koran tempo)


Otak di Balik Perang Irak 
8-4-2003 / 12:43 WIB
http://www.tempo.co.id/harian/fokus/2006/2,1,105,id.html
TEMPO Interaktif, Washington 

Tak salah lagi, sosok ini betul-betul elang Barat sejati. Bukan saja percaya Irak akan terbebas dari tiran, tapi Wakil Menteri Pertahanan Amerika Paul Dundes Wolfowitz juga percaya bahwa apa yang dilakukan Amerika semata-mata adalah karena tanggung jawabnya untuk memperbaiki dunia. Bukan main!
Suara Wolfowitz, 57 tahun, termasuk di antara pekikan maut sejumlah elang yang ikut menjadi "pembisik" keluarga Bush, baik ketika ayah maupun anaknya menjadi presiden. Namun, baru sejak serangan 11 September, suaranya yang dominan di ruang oval, tempat kerja presiden, semakin terdengar. Di keningnya menempel neokonservatif, unilateral, dan Israel-sentris sejak serangan Amerika ke Afganistan, 2001.
Dalam benaknya, ia percaya Amerika punya kemampuan untuk membangun dunia menjadi lebih baik. Optimismenya bahkan diungkapkan New York Times Magazine tak ubahnya kepercayaan seorang misionaris. Dalam invasi AS yang sekarang, Wolfowitz melihat Irak bukan saja akan terbebas dari bahaya senjata kimia, tapi juga menjadi negara demokratis yang akan mewakili wajah Timur Tengah modern dengan bantuan Amerika. Tak heran bila pandangannya yang ekstrem akan peran Amerika dalam perdamaian dunia yang menjadi perekat dalam hubungannya dengan Bush Junior. Seorang pejabat senior Gedung Putih mengatakan, pertautan keduanya membuat masing-masing semakin percaya ide strategis Amerika untuk mentransformasi dunia.
Ide menjadi polisi dunia itu tumbuh seiring dengan Wolfowitz kecil yang dibesarkan di tengah lingkungan yang menganggap Hitler dan Stalin musuh personal. Ayahnya, profesor matematika di Universitas Cornell, adalah seorang Yahudi asal Polandia yang keluar dari Warsawa pada 1920. Sepanjang hidupnya, Wolfowitz mendengarkan nasihat orangtuanya bahwa mereka beruntung bisa keluar dari Eropa sebelum horor pendudukan Hitler terjadi. Pria yang mampu berbicara dalam enam bahasa itu pun hafal luar kepala sejarah Perang Saudara Amerika dari buku yang selalu diletakkan di samping tempat tidurnya. Pantas bila kelompok Amerika pro-Israel bersorak gembira saat Wolfowitz, yang sangat kritis terhadap pemerintahan gaya demokrat Presiden Clinton kembali ke Gedung Putih sebagai salah satu bala tentara Bush Junior, seperti pernah ditulis Jerusalem Post. Karier Wolfowitz menanjak pesat di masa pemerintahan Reagan. Berbagai pos pernah dipegangnya, yang khusus berkisar di bidang strategi pertahanan dan kebijakan nasional. Ia terlibat dalam berbagai kebijakan Amerika di Perang Dingin, Korea Utara, Timur Tengah, dan lain-lain. Wolfowitz sempat menjadi asisten menteri untuk urusan Asia Timur dan Pasifik serta Duta Besar di Indonesia, satu-satunya posnya sebagai duta besar, di negeri keempat terbesar di dunia dan berpenduduk muslim paling besar sejagat. Di era pemerintahan Reagan pula Wolfowitz yang semula demokrat berpindah partai. Menurut dia, idenya akan peran Amerika sebagai polisi dunia kemudian makin terasah dalam bimbingan Senator Henry M. Jackson, tokoh Partai Demokrat yang hawkist, yang percaya adalah tugas Amerika untuk mendukung demokrasi dan kadang-kadang perlu menggunakan kekuatan senjata untuk mendukungnya. Obsesi untuk menumbangkan rezim Saddam sudah menempel di kepalanya sejak 1979, ketika bersama Dennis Ross, direktur kebijakan di pemerintahan Bush Senior membuat tulisan rahasia yang membicarakan invasi Irak ke Kuwait.
Keduanya sudah membayangkan ancaman yang akan dihadapi Arab Saudi dan kemungkinan akan aksi militer Amerika. Sayangnya, seperti diungkapkan Sarah Graham-Brown dalam buku Saddam: The Politics of Intervention in Iraq, skenario ini diabaikan pemerintahan Carter maupun Reagan yang lebih tertarik untuk memperbaiki hubungan dengan Irak.
Satu gurauan yang sering diceritakan Wolfie--begitu Bush Junior memanggilnya--adalah tentang tukang cukur Saddam. Setiap kali Saddam muncul, si tukang cukur akan bertanya tentang Nicolae Ceaucescu, tiran Rumania yang dieksekusi mati oleh rakyatnya sendiri. Agak tersinggung, Saddam ingin tahu mengapa dia selalu bertanya hal yang sama. "Karena setiap kali saya tanya, rambut di belakang lehermu akan merinding. Saya jadi gampang memotongnya," kata si tukang cukur.
Sejak 11 September, Wolfowitz menjadi orang yang paling mendukung teori yang menghubungkan Irak dengan serangan terhadap menara kembar World Trade Center dan Pentagon. Ini mencapai puncaknya beberapa saat sebelum invasi dimulai, Bush Junior mengadakan rapat di rumah peristirahatan resmi presiden di Camp David. Saat itu, meski diplomasi Amerika masih tertinggal dari target, Wolfowitz tetap berkeras agar invasi dilakukan. Bahkan dia sampai menginterupsi Menteri Pertahanan Rumsfeld demi mendukung argumennya. Saat istirahat kemudian, Kepala Staf Gedung Putih Andrew H. Card Jr. berbicara kepada Wolfowitz dan Rumsfeld, meminta agar Departemen Pertahanan berbicara satu suara. Dengan kata lain, secara sopan Card meminta agar Wolfowitz tidak banyak omong.
Wolfowitz jalan terus. Ketika mimpi aksi militernya sudah terkabul, ia menggebrak lagi dengan menjadi arsitek perancang negara Irak pasca-Saddam. Kali ini, proyek itu dikerjakannya bersama Jenderal Jay Garner, Kepala Kantor Rekonstruksi dan Bantuan Kemanusiaan Pentagon, yang sudah diplot menjadi calon administratur Irak pasca-Saddam. Dalam hitungan hari, kantor itu sudah akan berdiri di Umm Qasr, kota pelabuhan yang sudah dikuasai pasukan Amerika. (bbc/nytimes mag/kurie suditomo – koran tempo)
 

Amerika Pilih-pilih Cara Adili Saddam
 9-4-2003 / 12:13 WIB
http://www.tempo.co.id/harian/fokus/2006/2,1,114,id.html
TEMPO Interaktif, Washington 

Peradilan macam apakah yang akan dihadapi para penjahat perang dan para pemimpin Irak termasuk Saddam Hussein? Inilah yang tengah dipikirkan pemerintah Amerika Serikat.
Para pembantu Presiden George W. Bush sedang sibuk menguji berbagai pilihan hukum yang ada, mengantisipasi jatuhnya rezim di Bagdad. Kesibukan itu dilakukan melalui koordinasi yang dijalin pemerintahan Bush dengan para bekas pejabat pemerintahan dan juga kalangan akademisi. Mereka bekerja dalam isu-isu kejahatan perang. "Ada banyak perdebatan yang terjadi saat ini dalam pemerintahan tentang pilihan apa yang akan digunakan," kata salah seorang pejabat pemerintahan AS yang tidak mau disebutkan namanya.
Sementara itu, juru bicara Departemen Kehakiman Brian Sierra mengungkapkan bahwa departemennya bersama dengan Departemen Luar Negeri baru-baru ini telah mengumpulkan 32 pengacara warga Irak. Mereka dikumpulkan untuk mendiskusikan isu kejahatan perang dan masa pascarezim Saddam Hussein di Irak.
Menurut koran New York Times, pemerintahan Bush belakangan mengindikasikan sikapnya terhadap paling sedikit enam pemimpin Irak yang akan diadili apabila mereka dapat ditangkap hidup-hidup. Mereka semuanya dapat dituntut sebagai para penjahat perang karena telah memerintahkan dilakukannya pembantaian, penyiksaan, dan serangan senjata kimia.
Seorang pejabat senior Kementerian Luar Negeri AS, yang juga tidak mau disebutkan namanya, mengatakan bahwa para pemimpin Irak yang melanggar Konvensi Jenewa dengan cara berpura-pura menyerah untuk menjebak pasukan AS-Inggris, mendorong warga sipil ataupun menggunakan rumah sakit-rumah sakit untuk berlindung dapat diadili di pengadilan di Amerika. "Kami memiliki pilihan-pilihan. Kami memiliki berbagai jenis dakwaan yang berbeda. Sebagai misal, di Amerika kami memiliki pengadilan-pengadilan militer, kami juga memiliki pengadilan-pengadilan distrik federal dengan yurisdiksi yang khusus," kata dia.
Pejabat senior itu juga menambahkan bahwa sebuah mekanisme yang bersesuaian akan segera disiapkan setelah perang usai untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan para tentara Irak terhadap warga sipil. Bagi para pemimpin Irak, pemerintahan Bush juga mendiskusikan kemungkinan pengorganisasian dakwaan di bawah kerangka PBB, sama halnya dengan yang dipersiapkan untuk mengadili kejahatan perang di Rwanda dan bagi bekas pemimpin Yugoslavia.
Kelihatannya, Presiden Bush sendiri tidak akan menerima skenario yang terakhir itu. Sikap itu tecermin dalam penolakannya terhadap otoritas Pengadilan Kriminal Internasional yang disponsori PBB.
"Rakyat Amerika tidak menginginkan mahkamah PBB karena itu akan dipolitisasi, itu akan memakan waktu yang terlalu panjang," kata Paul Williams, seorang profesor hukum internasional dari American University yang juga spesialis dalam bidang yurisdiksi kejahatan perang.
Menurut Williams, akan jauh lebih efektif untuk memilih proses hukum yang memang berlaku di Irak ditambah sejumlah tipe partisipasi regional. "Jadi, kita akan memiliki beberapa hakim dari Irak, beberapa dari Mesir, dan mungkin juga dari Bahrain," kata dia mengilustrasikan.
Para pakar hukum warga Irak sendiri sebelumnya berpendapat agar Saddam Hussein dan anggota rezim lainnya yang sedang diupayakan penggulingan pasukan AS dan Inggris untuk diadili di Irak saja. "Kami tidak ingin mengulangi kasus seperti Milosevic yang akan dimanfaatkan sebagai podium untuk berpropaganda," kata Mohammed al-Jabiri, bekas diplomat Irak yang diasingkan di Australia.
Disadari pula persoalan yang ada apabila menggunakan proses hukum Irak, yakni bagaimana menemukan para hakim yang tidak loyal pada Saddam Hussein. "Akan terdapat lebih banyak kerentanan untuk memiliki mahkamah regional campuran. Anda membutuhkan orang-orang Kurdi, Irak, dan Syiah dalam satu mahkamah yang sama. Anda membutuhkan adanya korban sebagai bagian dari mahkamah itu," kata Williams.
Williams juga mengingatkan agar sistem pengadilan Nuremberg harus ditetapkan di luar daftar yang dipertimbangkan untuk dapat diterapkan. Sistem itu, kata Williams, akan dianggap terlalu militeristis dan juga terlalu Amerika bagi opini publik Arab. (afp/wuragil – tempo news room)


Kalau Bukan Mustard, Lantas Senjata Apa??
 9-4-2003 / 12:20 WIB
http://www.tempo.co.id/harian/fokus/2006/2,1,116,id.html
TEMPO Interaktif, Najaf 

Gas mustard rupanya membuat para serdadu Amerika Serikat dilanda ketakutan yang berlebihan terhadap serangan Irak. Kemarin, mereka menduga telah terkena serangan senjata kimia setelah kulit lima serdadu AS melepuh dan mengeluh mual-mual.
Lima tentara dari Divisi Lintas Udara Ke-101 mengalami mual-mual dan kulit melepuh setelah masuk ke dalam bangunan penyimpanan amunisi Irak pada Senin lalu. Mereka cemas itu adalah akibat gas mustard yang mungkin dipakai sebagai senjata kimia.
Mereka segera di bawa ke dokter divisi meskipun kondisinya tidak mengancam nyawa mereka. "Dokter divisi tidak berpikir itu adalah gas mustard," kata Mayor Hugh Cate, juru bicara kesatuan itu, kemarin. "Ia pikir itu cuma panik saja." Sehari sebelumnya, seorang perwira intelijen militer divisi itu, Kapten Adam Mastrianni, mengatakan, tes awal memperlihatkan gas dalam bangunan itu adalah mustard, meskipun uji gas masih terus dilakukan. "Cukup masuk akal kalau disebut itu adalah gas mustard," kata Mastrianni.
Gas mustard masuk kelompok senjata kimia yang membuat kulit melepuh, menyakitkan, tapi biasanya tidak berbahaya. Selain jenis ini, ada senjata kimia seperti sarin. Gas maut ini bisa masuk tubuh lewat kulit atau napas. Dalam hitungan menit, orang yang terkena akan tewas. Bahan kimia lain adalah sianida, yang bekerja lewat darah. Zat ini akan membunuh orang dalam hitungan menit. Senjata menakutkan lain adalah jenis biologis semacam antraks hingga ricin, yang bisa berbentuk aerosol dan tinggal disemprot. Korban akan tewas dalam waktu 36 jam dan tidak bisa diobati begitu terkena.
Salah satu alasan Amerika Serikat menyerang Irak adalah negeri itu dituduhnya memiliki senjata kimia. Dalam sejumlah pertempuran, para tentaranya bahkan harus mengenakan baju antisenjata kimia karena kecemasan berlebihan ini. Meskipun Amerika Serikat sudah menguasai sebagian besar Irak, hingga sekarang mereka belum menemukan senjata kimia. Irak menyatakan telah memusnahkan senjata kimianya.
PBB, sesaat sebelum Amerika melakukan invasi, sedang mengirim tim untuk melihat apakah benar Irak sudah tidak memiliki senjata kimia. Namun, Washington yakin Irak memiliki senjata kimia. Keyakinan itu memicu perang dan sampai sekarang tidak terbukti.
Sebelumnya, di pabrik pestisida di Hindiya, 30 kilometer dari Karbala, ditemukan 15 drum berisi sarin, tabun, dan mustard. Drum-drum itu ditemukan terpendam dalam tanah. Tentara Amerika Serikat segera mengirim contohnya ke laboratorium di Amerika Serikat. Hasilnya? Cairan dalam drum itu tak lain hanya cairan pestisida.
Kota Najaf sudah dikuasai pasukan Amerika selama sepekan terakhir. Para tentara Amerika Serikat masih terus menduduki Najaf. Jenderal Tommy Franks, panglima pasukan Amerika Serikat dan Inggris dalam invasi ke Irak, kemarin bahkan sudah berani menginjakkan kaki di kota ini.
Mereka bahkan mendatangkan seorang "kiai" Syiah di Najaf. Ulama itu, Abdulmajid al-Khoi yang sebelumnya tinggal di London, dikenal pro-Amerika Serikat. Ia buru-buru menyatakan bahwa makam Imam Ali di Najaf yang disucikan umat Syiah tidak rusak sedikit pun. (afp/msnbc/nurkhoiri – tempo news room)


Universitas Basrah, Kuburan Basrah
9-4-2003 / 12:29 WIB
http://www.tempo.co.id/harian/fokus/2006/2,1,120,id.html
TEMPO Interaktif, Basrah 

Ali Kadhem lulus dari Universitas Basrah tiga tahun silam, menjalani kuliah yang menyenangkan di kampus yang tenang. Senin (7/4) lalu, ia kembali lagi ke sana. Bukan untuk mengambil program pendidikan yang lebih tinggi, melainkan untuk mengumpulkan dan mengubur mayat tentara Irak yang mempertahankan kota terbesar kedua itu. "Dua atau tiga bulan silam saya kembali ke sini, bertemu para guru, mengunjungi perpustakaan," kata Kadhem, yang kini menjadi sukarelawan Bulan Sabit Merah--semacam Palang Merah di Irak--menolong korban perang. "Sekarang saya kembali dan melihat hal-hal yang mengerikan."
Inggris mengambil alih Basrah sepenuhnya, Senin (7/7) lalu, setelah selama tiga minggu hanya bisa termangu-mangu di batas kota. Setelah mengambil alih, mereka segera menghubungi seorang pemimpin suku untuk menjalankan pemerintahan sementara. "Ia akan membentuk kepemimpinan di Provinsi Basrah," kata Kolonel Chris Vernon dari kesatuan Inggris.
Karena kondisi masih kacau, sukarelawan seperti Kadhem bergerak, termasuk ke Universitas Basrah. Kadhem dan rekan-rekan sukarelawan pertama kali melihat sosok mayat di pagar kawat di sekeliling Universitas Basra dengan pakaian lengkap dan wajah menghadap ke tanah. Di sekitarnya, orang-orang menjarah kampus, mengambil mulai dari printer, komputer, sampai kursi. "Satu di sini!" teriak Kadhem kepada rekannya yang masih berada di mobil pick up. Tubuh itu dengan gampang dimasukkan dalam bak mobil yang diberi terpal. Mereka bergerak lagi.
Kemudian terdengar teriakan dari sukarelawan lain. "Empat, empat!" katanya sambil mengangkat empat jari. Datang teriakan lagi, "Dua lagi!" "Satu lagi!" "Dua lagi!" Akhirnya 10 mayat terkumpul. Semuanya adalah korban dari pihak Irak. Dari kartu identitas, sebagian adalah orang Suriah, Palestina, Yaman. Semua jenazah berantakan. Ada yang terluka di kepala, tangan, bahu, kepala, luka bakar, dua tanpa kepala, dan empat mayat berada di rawa-rawa berwarna hijau di depan universitas. Yang lain mengenakan blue jeans dan sepatu kets, berada di lubang dengan dua peluncur roket yang belum digunakan. Mereka terus mengumpulkan mayat, menaikkan ke atas pick up, menutupi yang bisa ditutupi. Setelah bak penuh, mobil dengan bendera Bulan Sabit Merah itu bergerak ke rumah sakit.
Tim sukarelawan kesulitan mengambil lima mayat yang mengapung di rawa-rawa dengan air warna hijau pekat itu. "Lumpurnya membuat sulit untuk mengambil," kata Kadhem. Mobil dari rumah sakit sudah kembali dan lima mayat sudah diletakkan di mobil.
Sepasukan Inggris datang. Mereka masih siaga penuh dengan senapan terkokang dan siap menembak. Seorang mendekati tim relawan. "Kami diberitahu kalau yang terakhir ditemukan itu orang kulit putih," katanya. "Tidak ada kulit putih," kata seorang relawan. Tentara Inggris itu meminta izin melihat mayat di mobil dan ia membukanya satu per satu.
Dua jam kemudian tentara Inggris mendapat perintah baru: ambil mayat di rawa-rawa, kubur, catat posisi kuburan di GPS, dan bergerak menuju pusat kota Basrah.
Para sukarelawan bergerak di tepi rawa-rawa. Muhammad Taka melepas sepatu dan celana panjang, meloncat ke air. Ia menggapai mayat, mendorong ke tepi sehingga rekan-rekannya mudah mengangkat. Ikat kepala warna hijau masih menempel di kepala mayat. "Saya pikir ia orang Palestina," kata Kadhem.
Mayat kedua yang mengapung lebih sulit, sebagian terapung, sebagian lagi tenggelam di lumpur. Ia mengambil tali dan mengikat ke mayat. Taka meneruskan usahanya mengambil mayat yang lain di rawa-rawa. Saat mayat diangkat, dari kantongnya terjatuh sebuah Quran kecil yang basah. "Ia orang beriman," kata seorang relawan lain, Ahmad Timimi. "Semoga Tuhan memberi rahmat kepadanya."
Sebuah helikopter mengira mereka tentara Irak, menembaki, kemudian pergi lagi. Mayat di rawa diperkirakan dua orang, ternyata hanya satu, tapi terbelah dua.
Ada sembilan mayat di sana. "Kamar mayat di rumah sakit penuh," kata Akul. "Tidak ada saudara yang bisa mengenalinya." Mereka memutuskan menjadikan tanah di Universitas Basrah sebagai kuburan.
Dengan sekop mereka menggali tanah untuk membuat kuburan. Tidak ada yang bersuara, semua menggali dengan tenang. Mayat-mayat dimasukkan. "Ini hari yang buruk, hari 'pembebasan' ini," kata Kadhem. "Terlalu banyak yang mati." (washington post/afp/nurkhoiri – tempo news room)


Kurdi Usir Warga Arab dari Irak Utara 
15-4-2003 / 17:00 WIB
http://www.tempo.co.id/harian/fokus/2006/2,1,150,id.html
TEMPO Interaktif, Kirkuk:

Etnis Arab dan Kurdi di Irak utara saling bentrok yang menewaskan puluhan orang setelah Mosul dan Kirkuk jatuh ke tangan Amerika Serikat. Warga Kurdi mengusir ribuan orang Arab dari rumahnya di dekat dua kota minyak itu. Di Mosul, setidaknya 70 tewas akibat bentrokan ini dan di sebuah desa dekat Kirkuk, tujuh tewas. Yang terluka jauh lebih banyak lagi. Kurdi mengeluh bahwa tentara Amerika terlalu sedikit di kota berpenduduk 1 juta dengan 70 persen warga etnis Arab itu.
Pertempuran antara warga Kurdi dengan Arab terjadi di kota kecil Hawi Jah yang terletak antara Kirkuk dengan Tikrit. Warga Arab menyatakan korban di pihak mereka mencapai lima orang sedang warga Kurdi menyatakan mereka kehilangan tiga orang.
“Kacau semuanya. Orang Kurdi ke sini mau mencuri,” kata salah satu pemimpin suku Al Obaid, suku Arab di kawasan itu. “Mereka telah membunuh beberapa orang kami dengan menjadi perampok di jalan.”
Pemimpin Al Obaid menyatakan para penjarah mulai memasuki desa-desa wilayah mereka. Sedang Kurdi menyatakan mereka hanya ingin lewat desa-desa itu untuk mencapai jalan raya.
“Jika kita mengosongkan jalan dari pengawasan, Kurdi akan langsung masuk rumah-rumah kami seperti di Kirkuk,” kata pemimpin Al Obaid lainnya. Wilayah Irak utara dihuni mayoritas Kurdi. Setelah Perang Teluk 1991, mereka mendapat de facto otonomi di sebagian wilayah itu. Tapi dua kota besar, Mosul dan Kirkuk, tetap di tangan Irak.
Sekitar 300 ribu warga Kurdi terpaksa menyingkir dari Mosul dan Kirkuk. Rumah mereka kemudian ditempati warga Arab yang mendapat iming-iming uang dan rumah dari pemerintahan Saddam Hussein. Alasan ini yang membuat Kurdi mengusir warga Arab di desa-desa sekitarnya.
Uni Patriotik Kurdistan (PUK) – di Daquq, salah satu kota Irak utara, telah memerintah lima desa di selatan Kirkuk untuk dikosongkan warga Arab. Human Right Watch, yang kemarin berkeliling wilayah itu, menyatakan sekarang sudah sekitar 2000 orang Arab yang diusir dari tempat tinggalnya.
Wakil pemimpin PUK di wilayah Daquq, mengatakan mereka mengusir Arab atas restu Amerika Serikat. “Kami mendapatkan perintah bahwa orang-orang (Arab) itu mesti kembali ke tempat asalnya. Perintah itu dari pemimpin PUK dan dari koalisi,” katanya. “Kami menjalankan perintah atasan.”
Tapi pejabat senior PUK membantah ada perintah itu. Malah, ini bertentangan dengan posisi Sekjen PUK Jalal Talabani yang secara terbuka menyatakan ingin Irak berbentuk negara multietnis.
Pejabat Kurdi mengakui ada pengusiran ini, tapi mereka menyatakan bukan kebijakan resmi. “Itu adalah kesalahan Saddam,” kata Syeh Abdul Karim Hajji, seorang pemimpin Kurdi. “Kita menentang, sangat menentang, apa yang terjadi itu.”
Shalaw Ali Askari, tangan kanan Talabani, mengatakan akan bertemu dengan para pemimpin suku Arab. Ia akan meyakinkan bahwa warga Arab akan bisa tetap tinggal di rumahnya – setidaknya saat ini. Kalaupun warga Kurdi nanti datang, dilakukan secara hukum. Mungkin lewat pengadilan.
“Orang sudah menunggu lebih dari 30 tahun,” katanya. “Mereka bisa bersabar. Apa artinya setahun lagi?”
Kurdi berusaha memperbaiki citranya dengan membuat pos penjagaan. Mereka menyita barang-barang yang dianggap curian. Askari menjanjikan akan mengambalikan 73 mobil hasil jarahan di Kirkuk dalam pekan ini.
Pengusiran memang mulai mencolok di wilayah sekitar Kirkuk dan Mosul. Beberapa rumah ditulisi bahasa Kurdi yang bunyinya: “Dikembalikan ke pemilik asli.”
Di desa dekat Kirkuk, dua ibu Arab, dengan bayi yang berusia 24 hari dan satunya 35 hari, duduk di gerobak pedesaan. Salah satu ibu itu, Shima Juma Muhammad, mengatakan mereka membutuhkan makanan. “Kita ingin dokter, kita ingin keamanan, kita ingin pulang ke rumah,” katanya. Tapi di beberapa tempat, polisi Kurdi dan warga Arab membentuk patroli bersama untuk mencegah masalah-masalah ini.
“Kami berharap bisa melindungi semua warga Irak sehingga mereka bisa hidup aman dan menjaga jiwa dan harta bendanya,” kata Tahir Mohammad Salih, seorang polisi Kurdi yang berpatroli.
Beberapa warga Arab menyalahkan Amerika sebagai penyebab masalah ini. “Amerika tidak bisa begitu saja menghancurkan pemerintahan dan kemudian meninggalkan tempat ini karena akan menimbulkan kekacauan,” kata Mohammad Ahmad Hussein, warga desa Shahriya.
Seorang laki-laki lagi datang dengan melambai-lambaikan KTP bertuliskan Haki Khalil. “Saya tentara,” katanya. “Mereka mengatakan jika kamu tidak bertempur, jika pulang, akan diberi demokrasi. Mana demokrasi?” (independent/new york times/guardian/nurkhoiri – tempo news room)



Penilaian Tentang Konflik Yang Terjadi di Irak
Irak merupakan negara yang terpecah dalam beberapa kelompok etnis yaitu Arab, Persia, Turki, Kurdi, Assiria, Yahudi dan etnis lainnya. Selain itu, Irak juga terbagi dalam beberapa kelompok aliran agama yaitu Islam Syiah, Islam Sunni, Krsiten, Ibrani, dan agama lainnya. Walaupun Irak berdasarkan jumlahnya didominasi oleh orang Arab dan sekte Islam Syiah, di bidang pemerintahan dan pejabat militer kelompok Arab Sunni-lah yang mendominasi. Hal ini yang memicu berbagai konflik di Irak. Konflik yang terjadi di Irak tidak lain hanya untuk mencapai keinginan yang mewakili golongan tertentu.

Konflik yang biasa terjadi di Irak dipimpin oleh suatu golongan minoritas yang didiskriminasi oleh kelompok yang sedang berkuasa. Meskipun golongan yang berkuasa berasal dari golongan minoritas atau jumlahnya sedikit, kelompok ini akan berusaha melakukan dominasi terhadap wilayah yang dikuasainya. Kelompok yang berkuasa ini juga akan menutup diri dari golongan lain agar kekuasaannya tidak diganggu gugat. Oleh karena itu, Saddam selaku pemimpin Partai Ba’ath dan Presiden Irak terus menerus melakukan perlawanan secara tegas terhadap kelompok non-Ba’ath, non-Arab, dan non-Sunni.

Peristiwa Halabja merupakan salah satu bentuk konflik antaretnis demi mempertahankan maupun merebut kakuasaan di Irak. Halabja terletak di provinsi Sulaymaniyah, Irak Utara, dekat dengan perbatasan Iran. Kota dengan penduduk mayoritas Etnis Kurdi ini menjadi target uji coba senjata pemusnah massal oleh pemerintah Saddam. Lokasi ini dipilih karena letaknya jauh dari Baghdad dan dari penduduk Arab Sunni. Di kota inilah, Jumat 16 Maret 1988, pesawat-pesawat tempur Irak membombardir Halabja dan serangan kedua terjadi di siang dan malam hari sampai tanggal 19 Maret 1988.

Peristiwa penindasan hak asasi manusia ini merupakan tragedi tak terlupakan bagi bangsa Kurdi. Dalam peristiwa ini, pemerintah Irak untuk pertama kalinya menggunakan senjata kimia dan biologi untuk mengatasi persoalan Etnis Kurdi yang mendiami wilayah Irak Utara. Akibat peristiwa Halabja ini, banyak Etnis Kurdi yang tewas tanpa adanya perlawanan. Anak-anak, kaum manita, dan para manula menjadi korban dengan jumlah terbanyak. Jumlah korban hari pertama mencapai 5000 orang tewas dan dua hari berikutnya 12.000 jiwa warga Halabja tewas pula. Korban yang selamat mengalami berbagai masalah akibat terkontaminasi rekasi kimia dari senjata pemusnah massal di barak pengungsian. Etnis Kurdi menyebut tragedi yang terjadi pada 16 Maret 1988 ini sebagai peristiwa “Jumat Berdarah”.

Saddam melakukan kebijakan untuk menyerang Halabja demi meneruskan kebijakan yang sudah dilakukan pemegang kekuasaan Irak sebelumnya untuk memusnahkan Etnis Kurdi di Irak. Sebelum kekuasaan Saddam Hussein berdiri, Etnis Kurdi merupakan kelompok minoritas yang selalu mengalami diskriminasi politik dan penindasan hak asasi manusia pada masa Ottman. Akibatnya, Etnis Kurdi yang tersebar di Negara Irak, Iran, dan Turki berkeinginan membuat Negara Kurdi yang berdaulat yaitu Kurdistan.

Demi mewujudkan keinginan mereka, Etnis Kurdi Irak segera melakukan berbagai gerakan separatis untuk memisahkan diri dan membentuk negara Kurdistan yang berdaulat di Irak Utara. Akan tetapi, usaha disintegrasi yang dilakukan Etnis Kurdi membuat kekhawatiran bagi pemerintah Baghdad sehingga pemerintah Baghdad mengeluarkan kebijakan untuk menangani Etnis Kurdi yang berakibat pada pelanggaran hal asasi manusia. Etnis Kurdi terus melakukan perlawan terhadap rezim Saddam. Sebagai puncak perlawaan, Etnis Kurdi membantu Iran dalam perang Iran-Irak (1980-1988) untuk menjatuhkan rezim Saddam. Dari persekutuan Iran, Etnis Kurdi berharap dapat memperoleh wilayah Kurdistan sesuai dengan perjanjian Sevres yang dibatalkan secara sepihak oleh pemerintah Irak. Oleh karena itu, Saddam merasa Etnis Kurdi sangat berbahaya dan telah menjadi pengkhianat bagi pemerintah Saddam. Oleh karena itu, Saddam memfokuskan diri untuk memusnahkan Etnis Kurdi di Irak Utara dengan kampanye Anfal. Kampanye ini diawali dengan peristiwa Halabja.

Selain faktor eksternal Saddam, keinginan Etnis Kurdi memisahkan diri dengan Irak, pemusnahan Etnis Kurdi ini disebabkan pula oleh latar belakang politik Saddam Hussein. Saddam tidak lagi melihat Etnis Kurdi sebagai warga negara Irak yang harus dilindungi. Saddam juga tidak lagi melihat Etnis Kurdi sebagai kaum yang memiliki agama dan mazhab yang sama dengannya yaitu Islam Sunni yang mengajarkan untuk saling melindungi saudara seiman. Saddam hanya melihat orang Kurdi adalah orang non-Arab yang bisa mengganggu stabilitas negara. Oleh karena itu, Saddam berupaya memusnahkan Etnis Kurdi agar kekuasaannya tidak goyah.

Sejak Saddam anak-anak sampai remaja, Saddam dibesarkan di lingkungan yang penuh dengan kekerasan, teror, kebencian dan kebengisan. Hal ini membentuk karakter politik Saddam yang sesuai dengan politik Machiavelli, Stalin, dan Nazi. Selama ia berkuasa, Saddam berusaha mengamankan kekuasaan yang ada pada genggamannya. Bagi Saddam, politik terpisah dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan moralitas. Dalam politik Saddam, tidak ada tempat untuk membicarakan moral. Saddam hanya mementingkan cara meraih keberhasilan dengan terus mempertahankan kekuasaan yang menjadi cita-citanya. Segala cara dilakukan untuk menyukseskan tujuannya.

Partai politik yang dijadikan Saddam sebagai media peraih kekuasaan juga memiliki peranan dalam membentuk kebijakan Saddam, khususnya kebijakan Saddam terkait Peristiwa Halabja. Setelah Saddam dewasa, Saddam bergabung dengan Partai Ba’ath yang merupakan partai nasionalis, populis, sosialis, sekularis, dan revolusioner. Partai Ba’ath memiliki ideologi nasionalisme Arab yang menyeluruh, bukan nasionalisme yang membatasi diri pada satu negara bangsa saja. Partai Ba’ath adalah partai yang mewajibkan setiap anggota partai loyal terhadap ideologi partai. Adapun ideologi partai ini yaitu sekularisme, sosialisme, dan nasionalisme Arab atau Unionisme Pan-Arab. Oleh karena itu, Saddam menyerang Etnis Kurdi di Halabja dengan menggunakan senjata kimia dan biologi.



Seandainya Saddam Hussein menggunakan kekuasaannya untuk menciptakan kesejahteraan setiap warga negara Irak secara keseluruhan tanpa terkecuali, tanpa melihat ras, agama, dan latar belakang keluarga, maka peristiwa Halabja tidak akan terjadi. Peristiwa ini terjadi karena pemerintahaan Saddam sangat otiriter. Sikap otoriter Saddam muncul disebabkan kekuasaan Saddam yang tidak dibatasi oleh hukum negara yang sesuai dengan hukum Internasional. Oleh karena itu, pemerintahan Saddam tidak mampu menjunjung tinggi kesejahteraan umum, termasuk kesejahteraan Etnis Kurdi sehingga Etnis Kurdi memiliki keinginan untuk membentuk kedaulatan negara sendiri.

 

Ideologi Partai Ba’ath

Partai Ba’ath adalah partai yang menekankan nasionalisme Arab yang menyeluruh, bukan nasionalisme yang membatasi diri pada satu negara saja. Partai Ba’ath didirikan pada tahun 1943 di Damaskus oleh Michael Aflaq, Salah ad-Din al-Bitar, dan Zaki Arsuzi. Prinsip dasar Partai Ba’ath adalah persatuan dan kebebasan di negara-negara Arab. Partai ini juga memiliki misi khusus untuk mengakhiri kolonialisme Barat. Partai Ba’ath adalah partai nasionalis, populis, sosialis, sekuler, dan revolusioner. Oleh karena itu, dalam partai ini diakui adanya kepemilikan pribadi dan tidak ada pembagian kelas, juga tidak ada pembagian di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda. Hal ini banyak mendorong kelompok minoritas bergabung dengan Partai Ba’ath karena memperoleh pengakuan politik. Partai Ba’ath mewajibkan setiap anggota partai loyal terhadap ideologi partai, yaitu sekularisme, sosialisme, dan nasionalisme Arab atau Unionisme Pan-Arab.[1]
Michael Aflaq adalah seorang pemeluk agama kristen yang lahir di Suriah. Michael Aflaq adalah salah satu pendiri Partai Ba’ath dan seorang pemikir sekaligus politisi sosialis kelahiran Damaskus tahun 1910. Ia lulusan Universitas Sorbonne, Paris, Perancis, yang membawa ideologi Partai Ba’ath ke Irak dan akhirnya meninggal di Baghdad.[2]
Doktrin Partai Ba’ath yang pertama yaitu eksistensi bangsa Arab di negara-negara Arab. Kedua, ikatan kebangsaan antara individu dan bangsanya merupakan landasan bagi politik Ba’ath. Ketiga, siapa saja yang berbahasa Arab, hidup di Negeri Arab, dan meyakini bahwa ia tergolong ke dalam bangsa Arab, hanya dapat diikat dengan ikatan Arab semata. Dengan kata lain, “kearaban” yang dimaksud Aflaq mengesampingkan seluruh ikatan-ikatan kebangsaan terhadap satuan-satuan yang lebih kecil, lokal, dan keagamaan. Keempat, tidak memisahkan agama dari nasionalisme, yaitu dengan memandang Islam sebagai “budaya nasional” Arab, dan Nabi Muhammad adalah seorang Arab yang sesungguhnya.[3]
Bagi Aflaq, Islam memiliki kedudukan penting dalam Partai Ba’ath karena Islam bagian dari warisan Arab. Kendati demikian, esensi Islam yang ditetapkan Aflaq adalah aspek-aspek spiritual dan moralnya. Aflaq juga menegaskan bahwa Islam diciptakan dari esensi Arab. Oleh karena itu, harus tunduk kepada nasioalisme Arab. Doktrin Aflaq ini sangat mempengaruhi politik Saddam Hussein. Saddam Hussein pernah mengatakan bahwa ideologi Ba’ath bukanlah reproduksi filsafat keagamaan Islam. Sebagai ideologi Arab, Ba’ath-isme bukan ideologi keagamaan dan tidak pula bertentangan dengan agama. Ba’ath-isme adalah ideologi eksistensial yang membimbing bangsa Arab untuk membangun suatu peradaban baru dalam semangat revolusioner dan pada saat yang sama mengaitkan mereka dengan sejarah dan warisan masa lalu yang agung.[4]
Strategi Saddam sangat dipengaruhi oleh Partai Ba’ath di bawah doktrin Michael Aflaq. Tidak heran jika Aflaq sering kali memuji Saddam karena Saddam telah masuk partai dalam usia muda. Bagi Michael Aflaq, Saddam tidak mengenal lingkungan lain kecuali lingkungan partai. Dengan demikian, pada masa Saddam Hussein, pemerintahan Irak banyak menggunakan organisasi partai Ba’ath yang monopolitik, menyebar, dan menyusup ke seluruh unsur sehingga seringkali memaksakan konformitas politik dan sosial. Bersamaan dengan ini, berkembang pula kultus terhadap sosok Saddam Hussein yang seringkali mengharuskan orang untuk berpartisipasi di dalam pemerintahannya sebagai tanda loyalitas atau syarat kemajuan.[5]
Irak di bawah Partai Ba’ath membuat rakyat Irak non-Arab terus dibayangi kengerian, ketakutan, dan ketidakpastian. Kekerasan dilembagakan untuk menghasilkan dan menggiatkan suasana ketakutan yang sempurna dan rasa saling curiga. Kekerasan menimbulkan rasa takut dan penyerahan total dari penguasa yang lain agar Saddam menjadi penguasa tunggal.[6]
Kebijakan dalam Partai Ba’ath pada umumnya berkaitan dengan golongan komunis dan Etnis Kurdi. Kedua golongan ini selalu ditindas karena alasan yang berbeda-beda. Anggota Partai Komunis adalah musuh Partai Ba’ath sering menyiksa anggota Partai Ba’ath selama masa pemerintahan Qasim. Oleh karena itu, Partai Ba’ath membalasnya dengan menangkap, mengadili, dan menghukum tokoh-tokoh komunis setelah Ba’ath berkuasa. Pembalasan ini mencakup dua puluh delapan (28) hukuman mati bagi tokoh-tokoh komunis yang bertanggung jawab atas pembantaian Kirkuk pada Juli 1959. Saat itu, Partai Komunis berupaya untuk memperoleh dan meraih kekuasaan dengan mengadakan aksi-aksi teroris di Kirkuk sehingga menimbulkan banyak korban. Dengan kata lain, perang yang dilancarkan Ba’ath di Baghdad terhadap bangsa Kurdi adalah warisan rezim Qasim. Akan tetapi, rezim Ba’ath meningkatkan intensitas permusuhan dengan Kurdi dan memerangi mereka dengan bantuan batalion tentara Suriah.[7]
Kampanye menentang komunis dan Kurdi mengundang kecaman dari Uni Soviet. Pers Moskow mengemukakan komentar dan kritik yang keras terhadap tindakan Baghdad kepada kalangan komunis. Sehubungan dengan serangan Irak terhadap Etnis Kurdi, media Uni Soviet menyebutnya sebagai metode pembataian massal ala Nazi di Kurdistan dalam operasi genosid terhadap Etnis Kurdi. Sebagai dampaknya, hubungan Baghdad-Moskow memburuk.[8]
Selain itu, terdapat berbagai masalah lain terkait identitas nasional Irak. Sebagian dari akar identitas Irak bersifat supranasional dalam arti pan-Arabisme, sedangkan sebagian lain subnasional. Oleh karena itu, gagasan pan-Arabisme lebih menarik bagi golongan Islam Sunni dibandingkan Syiah. Lebih dari itu, bangsa Kurdi tidak dapat menerima nasionalime Arab karena mereka bukan bangsa Arab, sementara partai Ba’ath dihadapkan masalah untuk mengintegrasikan komunitas non-Arab seperti Kurdi ke dalam ideologi pan-Arabisme. Perbedaan dan suasana saling curiga ini semakin memperbesar masalah integrasi nasional bagi Irak.[9]
Pada Juli 1973, Partai Ba’ath dan partai Komunis Irak mengadakan Pakta Aksi Nasional setelah sebelumnya mereka lama bersaing dan bermusuhan. Kemudian dibentuk Fron Progresif Nasional yang di dalamnya terdapat Partai Demokratik Kurdistan. Partai ini menawarkan suatu rancangan baru mengenai pemberian otonomi regional terbatas bagi bangsa Kurdi walaupun ditolak oleh pemimpin Kurdi, Mustafa al-Barzani. Pada tahun 1975, sebagai imbalan atas konsesi yang diberikan Irak dalam penetapan Shatt al-Arab sebagai batas Irak dengan Iran, Iran berjanji menarik dukungannya terhadap Etnis Kurdi. Keputusan ini cukup banyak mengurangi beban Baghdad. Selain itu, perjanjian 1975 juga mengurangi ketegangan antara Irak dan Iran sebagai dua negara yang berebut hegemoni di kawasan teluk. Hubungan baik dengan Mesir, negara-negara Arab di kawasan Teluk, dan Amerika Serikat juga pada akhirnya membaik.[10]
Di bawah kekuasan Partai Ba’ath, Irak melancarkan perang terhadap Iran pada 1980. Masalah yang dihadapi Partai Ba’ath tidak hanya dari eksternal, tetapi Partai Ba’ath juga harus menghadapi berbagai pemberontakan dari internal, di antaranya pemberontakan Kurdi yang kembali mencuat pada 1988. Ba’ath mengambil cara cepat untuk mengatasi masalah Kurdi yaitu membantainya dengan menggunakan senjata kimia. Tujuannya agar Partai Ba’ath tetap berkuasa di Baghdad. Cara-cara otoriter dan represif seperti ini membuat Partai Ba’ath mampu mengendalikan keberadaan kelompok oposisinya, termasuk Kurdi, di tahun pertama.

Kebijakan Saddam Atas Orang Kurdi (1970—1988)
Sejak Saddam mendapat jabatan di Partai Ba’ath pada 1970, Saddam sudah mulai mengatasi masalah Kurdi. Sepanjang tahun 1970 Saddam mulai tertarik dengan masalah militer yang berhubungan dengan pemberontakan di Irak Utara (wilayah Etnis Kurdi). Saddam terus membantu militer dalam melawan pasukan Barzani. Berbagai penindasan yang dilakukan Saddam terhadap hak Etnis Kurdi Irak merupakan petanda awal akan adanya kebijakan untuk melakukan serangan dan pembantaian Etnis Kurdi. Saddam Hussein pun mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk Kurdi yang meliputi pembunuhan massal, penghancuran desa-desa di wilayah yang dihuni Etis Kurdi, penembakan para demonstran yang terdiri dari mahasiswa dan rakyat sipil, serta pembunuhan politikus yang menjadi oposisi. [1]
Pada rezim Saddam, terdapat pengadilan atau mahkamah khusus untuk tahanan politik dan perwira angkatan bersenjata Irak yang dijatuhi hukuman atau sanksi. Mahkamah khusus ini terdiri dari dua jenis mahkamah, yaitu mahkamah permanen dan termporer. Sanksi yang dijatuhkan kepada terpidana bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat atau tidak dapat naik banding. Terdakwa tidak dapat menggunakan hak sebagai warga negara untuk melakukan pembelaan diri dihadapan mahkamah. Salah satu mahkamah khusus yang berifat permanen yaitu Mahkamah Revolusi di Baghdad dan Mahkamah Khusus Militer di Kirkuk. Mahkamah ini berfungsi untuk mengadili golongan Kurdi dan anggota militer di Kirkuk.[2]
Tuduhan-tuduhan yang diberikan Saddam terhadap warga negaranya berupa keikutsertaan dalam partai-partai politik yang dilarang, melakukan pemberontakan, menjadi oposisi Saddam, menolak ikut serta dalam perang Iran-Irak, melarikan diri dari kemiliteran, demonstrasi, salah satu anggota keluarga yang dijadikan jaminan orang-orang yang terlibat atau berhubungan dengan pergerakan Kurdi, pengkhianatan nasional melalui kerja sama dengan pihak-pihak asing yang menjadi musuh Irak.[3]
Bentuk penindasan Saddam lainnya terhadap warga negara non-Arab, non-Ba’ath, non-Sunni (Etnis Kurdi, Assyiria, keturunan Persia, Syiah dan partai oposisi non-Ba’ath) yaitu dengan mengasingkan secara paksa dan menyita harta benda serta surat-surat berharga seperti ijazah sekolah dan kartu identitas. Penindasan semacam ini terjadi sejak 1980 hingga 1988. Biasanya orang-orang yang ditindas adalah orang-orang yang lebih memilih untuk menghentikan perang Iran-Irak.[4]
Pada akhir September dan pertengahan Oktober 1980, Saddam menjadikan keluarga anggota politik, militer, dan kesatuan-kesatuan Kurdi yang tidak bersalah sebagai jaminan bagi anggota keluarga lainnya yang melarikan diri agar mereka kembali dan menyerahkan diri kepada pemerintah.[5] Berdasarkan keterangan Lembaga Arab yang menangani hak asasi manusia dinyatakan bahwa ada tokoh Partai Demokrasi Kurdistan, Muhammad Baqir Muhsin el Hakim berserta keluarganya, ditangkap dan dibunuh pada rezim Saddam. Total anggota keluarga el Hakim yang dibunuh pada bulan Maret yaitu 10 orang. Keluarga el-Hakim dituduh melakukan provokasi dan memimpin gerakan separatis Kurdi. Selain itu, mereka dituduh melakukan kerja sama dengan Iran ketika perang Irak-Iran sehingga rakyat Kurdi dianggap pengkhianat Irak.[6]
Berdasarkan perwakilan Republik Irak di PBB pada Februari sampai Maret 1985, Jeneva, dinyatakan adanya tokoh-tokoh Partai Demokrasi Kurdi lain yang menjadi korban kediktatoran Saddam yaitu Muhammad el Zahir, H. Ahmad Osman, Yahya Yunus, Aloi Aziz Muhammad, Hasan Saleh Mustafa, Buheir Senjari Abdullah Hamad Abdullah, Karim Ismail, Muhammad Ibrahim Saleh, Ahmad Yasin Abdullah, Muhammad Hasan Yunus, dan Hamad Hosei. Bukan hanya itu, pada minggu kedua bulan Maret terdapat tokoh Partai Demokrasi Kurdistan yang menjadi korban yaitu Kamal Rasul, Saleh Muhammad Amin, Abdul Karim, dan Ghafur Muhammad Saleh. Mereka dibunuh tanpa tuduhan yang jelas dan tanpa melalui peradilan resmi. Pada 23 Oktober 1985, terdapat 19 orang Etnis Kurdi yang dijatuhi hukuman mati karena tergabung dalam Partai Demokrasi Kurdistan dan tewas dibunuh akibat tuduhan kepemilikan senjata serta peledak yang dikhawatirkan akan membuat teror.[7]
Berdasarkan keterangan Lembaga Amnesti Internasional pada Oktober 1985, Saddam telah membunuh sedikitnya 300 rakyat Kurdi di beberapa kota di Irak Utara, terutama di Kota Sulmaniyah, tanpa melalui persidangan. Laporan ini menunjukkan adanya penangkapan ratusan orang Kurdi yang terdiri dari kelompok mahasiswa, pegawai, tentara serta anggota keluarganya, para politikus dari Partai Demokrasi Kurdi, dan Partai Sosialis Kurdi. 450 desa Kurdi dibom melalui udara dan sebagian orang Kurdi yang selamat mengungsi ke arah Selatan. [8]
Anggota lembaga Hak Asasi Manusia PBB yang bertugas memeriksa kasus pembunuhan pada tahun 1986 menyatakan bahwa terdapat beberapa kasus pembunuhan yang terjadi pada masa pemerintahan Saddam. Lembaga Amnesti menunjukkan pada Maret 1986 masyarakat sipil, termasuk mahasiswa, ditangkap pemerintah Irak dalam jumlah besar di Arbil. Selain itu, 200 orang Kurdi Irak dibunuh pula oleh aparat Saddam. Di antara mereka ada yang dijatuhi hukuman mati tanpa melalui proses persidangan dan adapula yang dibunuh ketika sedang demonstrasi. Pada akhir 1986, terdapat pembunuhan 9 anggota Partai Demonstrasi Kurdistan di Mosul, Kirkuk, dan Baghdad. Lembaga Amnesti berasumsi bahwa sekitar 16 anggota Partai Sosialis Kurdistan yang ditahan di Penjara Abu Gharib telah dijatuhi hukuman mati. Bukan hanya itu, terdapat pula laporan yang menginformasikan adanya 21 orang di Irak Utara yang dibunuh tanpa melalui proses peradilan, termasuk di dalamnya 15 mahasiswa yang berusia 18 tahun dari Universitas Salahuddin. Mereka ditangkap sejak bulan Maret dan kematian mereka diumumkan ke publik pada 9 April di Sulaymaniah. Pada Januari 1986, tercatat banyaknya kasus pembunuhan anggota Partai Sosialis Kurdistan dan Partai Demokrasi Kurdistan. Dua di antaranya adalah siswa dari sekolah keterampilan di Sulaymaniah serta terdapat pula 85 orang yang ditahan tanpa sepengetahuan keluarganya. Tahanan ini baru diketahui telah dijatuhi hukuman mati pada Januari 1985 dan Februari 1986.[9]
Laporan Lembaga amnesti pada tahun 1987 menyatakan bahwa pada Januari 1987 terjadi pembunuhan terhadap 29 pemuda tanpa melalui proses peradilan. Selain itu, beberapa tahanan politik tewas akibat siksaan. Di antara mereka yang tewas terdapat seorang pilot sekaligus mahasiswa yang masih berusia 18 tahun bernama Selim Muhammad. Selim Muhammad dituduh sebagai anggota Partai Demokrasi Kurdistan yang dilarang keberadaannya. Selim ditangkap pada 1 Oktober 1985 dan akhirnya meninggal akibat disiksa.[10]
Ada pula laporan dari Lembaga Arab yang menangani hak asasi manusia mengenai kasus yang berhubungan dengan pembunuhan massal. Dari lembaga ini diperoleh informasi adanya beberapa desa yang dihuni penduduk Kurdi yang dimusnahkan dengan senjata kimia. Informasi ini dilengkapi dengan daftar nama-nama korban, nama-nama desa, dan foto-foto korban yang tewas mengerikan akibat peristiwa tersebut. Pemusnahan dengan senjata kimia ini tidak berhubungan dengan perang Iran-Irak karena tempat terjadinya peristiwa tersebut jauh dari lokasi perang Iran-Irak yaitu di wilayah Sulaymania, Arbiel, Kirkuk, Tikrit, dan Dahuk. Pemusnahan dengan bom kimia ini disertai dengan perusakan lahan-lahan pertanian dan penghancuran beberapa Masjid dan Gereja. Penduduk Kurdi yang selamat diungsikan di seluruh penjuru Irak. Adapula yang bertahan di barak-barak pengungsian di kawasan padang pasir dekat dengan Saudi Arabia dan Jordania. Para Etnis Kurdi mengungsi ke luar Irak. Ketika di perbatasan Irak, aparat menyita surat-surat berharga yang terdiri dari surat bukti kewarganegaraan, paspor, surat wajib militer, ijazah pendidikan, kartu identitas, dan surat kepemilikan harta benda. [11]
Setalah perang Iran-Irak berakhir, keberadaan warga Irak di Utara belum mendapat jaminan hak-hak yang pasti. Mereka masih mengalami penindasan. Akibat penindasan ini, perkumpulan negara-negara Arab mengeluarkan pernyataan yang menyudutkan pemerintahan Saddam. Negara-negara Arab menyalahkan Irak karena telah menggunakan gas-gas kimia terhadap warga negara Kurdistan Irak dalam kampanye Anfal pada 19 September 1987 dan 22 Maret 1989, termasuk keterlibatan Irak dalam pemusnahan kota Halabja dengan senjata kimia pula pada 16 Maret 1988.

Strategi Politik Saddam Hussein
Ketika Saddam baru menjadi anggota Partai Ba’ath dan dilanjutkan menjadi pemimpin Ba’ath dan Saadam Irak, Saddam banyak menggunakan berbagai strategi politik yang terbentuk dari latar belakang sejarah dan pengalaman hidupnya. Strategi politik yang dibahas dalam penulisan ini yaitu pertama, Saddam menggunakan Partai Ba’ath sebagai alat menentukan kebijakan politik, seperti pemberlakuan ideologi totalitarian, pemerintahan partai tunggal, ekonomi terpimpin, dan kontrol yang ketat terhadap media dan tentara. Saddam menjalankan strategi ini dengan cara menempatkan orang-orang dan klan-klan tradisional dalam Partai Ba’ath. Sistem totalitarian yang digunakan Saddam adalah dengan memadukan elemen-elemen modern dan tradisional. Hal itu dilakukan untuk mengontrol, menguasai struktur kekuasaan negara, serta meredam kegelisahan massa dan polemik multikultural.[1]
Setelah berkuasa, ideologi totalitarian yang dianut Saddam semakin terlihat. Saddam Hussein membagi tiga kelompok orang yang ia percaya. Pertama, anggota keluarganya sendiri. Kedua, orang-orang yang berasal dari tempat yang sama dengannya. Ketiga, orang yang satu mazhab dengannya. Sikap primodialis Saddam semakin terlihat dalam pemerintahannya sejak ia memindahkan kendali kekuasaan Partai Ba’ath ke tangan keluarga Saddam. Menurut Saddam, keluarga lebih bisa dipercaya dibandingkan orang partai. Saddam memperlemah posisi orang-orang partai dan memperkuat keluarganya di dalam partai tersebut. Oleh karena itu, strategi politik Saddam membentuk struktur yang menyerupai piramida dengan dasar perorangan dan kekeluargaan.[2]
Saddam Hussein menjalankan struktur pemerintahan di bawah pengaruh klan. Saddam memegang kendali atas keamanan dan angkatan perang. Saddam juga mempunyai sistem monopoli ekonomi lengkap dengan instrumen kekerasan. Saddam mengontrol ketat sistem devisa, terutama setiap uang yang masuk ke pendapatan Irak. Saddam juga memegang kontrol mutlak terhadap media. Orang-orang yang berasal dari Tikrit ia tempatkan dalam posisi strategis untuk mewujudkan ambisinya. Ideologi yang dianut Saddam berbeda dengan Ba’ath. Ba’ath menganut paham egalitarian yang ditekankan pada kerja sama dengan bangsa-bangsa Arab lain untuk membangun kembali seluruh daerah, berbagi kekayaan, dan mencari kehidupan yang lebih baik untuk semua. Sedangkan, Saddam menganut politik keluarga dan klan.[3]
Saddam membangun benteng kekuasaannya dengan orang yang dapat ia percaya, terutama di kalangan elite partai yang berkuasa. Mereka adalah anggota keluarga, orang yang berasal dari Tikrit, dan orang-orang yang satu aliran agama dengannya (Sunni). Hal ini dapat dilihat dari cara Saddam melihat persamaan asal-usul untuk menempatkan seseorang pada posisi penting yang tujuannya untuk mengontrol alat-alat negara dalam masa kepemimpinannya.[4]
Bagi Saddam, dengan nepotisme teman dekat akan tetap dirangkul untuk berkontribusi dalam pemerintahan demi mencapai ambisinya. Saddam memperlakukan mereka dengan sangat baik agar mereka tetap loyal. Bagi Saddam loyalitas adalah kriteria utama untuk orang yang ingin tetap dekat dengannya. Sebaliknya, Saddam menumpas lawan-lawan politiknya apabila terjadi pengkhianatan. Saddam tidak peduli siapa pun mereka.[5]
Kedua, strategi politik yang digunakan Saddam Hussein dalam mempertahankan kekuasaannya adalah dengan membangun angkatan bersenjata yang loyal terhadap pemerintahannya. Alasan Saddam menggunakan strategi ini karena angkatan bersenjata dapat mendominasi dan menempatkan partai sebagai subordinat militer. Peran tersebut membuat angkatan bersenjata dapat menjadi sumber ancaman eksistensi dan dominasi partai. Oleh karena itu, para pemimpin rezim Ba’ath menganggap kolusi dengan angkatan bersenjata sangat dibutuhkan sebagai strategi memperoleh kekuasaan. Agar doktrin supermasi partai dapat dipertahankan, angkatan bersenjata Irak harus ditangani dengan baik oleh Saddam Hussein.[6]
Gerakan Juli 1979 mengantarkan terjadinya dominasi Tikrit, baik di bidang pemerintahan maupun bidang militer. Oleh karena itu, loyalitas anggota militer terhadap Saddam Hussein didapatkan dari kedekatan hubungan mereka dengan Saddam Hussein. Saddam merekrut calon tentara angkatan bersenjatanya dari wilayah Segitiga Sunni. Pada tahun 1980-an Presiden Saddam Hussein semakin memberi peluang pada pemuda Irak asal Tikrit untuk masuk akademi militer. Semakin dekat hubungan persaudaraan dengan Saddam, maka semakin strategis Saddam memposisikan orang tersebut. Sebagai contoh, angkatan bersenjata yang dibangun Saddam berdasarkan kekuasaan yaitu satuan tentara Fedayeen Saddam, pasukan berani mati Saddam Hussein.[7]
Hasil dari strategi politik Saddam dalam membangun angkatan bersenjata yang loyal, pertama, Saddam mampu meredam militer dan memotong basis kekuasaannya. Kedua, Saddam menjadi panglima tertinggi tentara, padahal ia tidak pernah menjadi militer profesional dan tidak pernah belajar di akademi kemiliteran secara formal sebelumnya. Ketiga, Saddam menjadikan angkatan bersenjata yang dibangunnya sebagai alat peredam aksi-aksi pemberontakan perlawanan kaum Syiah di Selatan maupun Etnis Kurdi di Utara.[8]
Ketiga, Saddam mempertahankan kekuasaannya dengan kekerasan. Hal ini dilakukan karena Saddam merebut kekuasaan dengan pertumpahan darah. Kekejaman bagi seorang Saddam merupakan seni bagi dirinya yang tiran. Peraturan yang Saddam buat bertujuan untuk menimbulkan ketakutan bagi rakyat dan lawan-lawan politiknya. Cara Saddam untuk mewujudkan semua ambisinya yaitu dengan menunjukkan kekejaman kepada semua orang. Menurut Saddam, cara mempertahankan kekuasaan di negeri yang memiliki keberagaman etnis, agama, dan aliran agama, seperti di Irak, yaitu dengan menyebarkan rasa ketakutan kepada rakyat, organisasi partai, dan lembaga keamanan. Oleh karena itu, kekerasan dan kekejaman di zaman Saddam menjadi lebih sistematik dan terorganisir dibandingkan era sebelumnya.[9]
Kekejaman Saddam Hussein dapat dibuktikan dari keterangan lembaga hak-hak manusia di Irak. Sebelum dimulainya perang Irak-Iran, tahun 1980, tercatat telah terjadi berbagai penindasan, baik yang dialami warga politik maupun sipil. Sebagian besar warga negara kehilangan Hak Asasi Manusia. Siapa pun bisa diberhentikan dari jabatannya, ditangkap, dijatuhi hukuman, disiksa, dibantai, diasingkan, dan dibunuh tanpa diketahui penyebabnya. Bahkan, kekerasan tersebut tanpa melalui pemeriksaan dan proses persidangan atau pengadilan sesuai dengan udang-undang yang berlaku. Keputusan Saddam hanya sebatas berdasarkan undang-undang arbitrasi atau keputusan-keputusan yang dikeluarkan Dewan Pimpinan Revolusi. Hal ini tentu bertentangan dengan ketentuan yang harus dijalankan suatu negara dengan berdasarkan pada UUD dan Perjanjian Internasional yaitu memuat hak-hak warga sipil dan politik. [10]
Bentuk lain dari politik penindasan yang dilakukan oleh Saddam yaitu penindasan hak individu untuk berbicara, berpendapat, berkumpul secara damai atau berorganisasi. Selain itu, penindasan politik lainnya yaitu merebut kemerdekaan individu untuk ikut serta dalam administrasi dalam perkara publik, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang telah ditunjuk (PEMILU). Kemudian Rezim Saddam memberlakukan undang-undang darurat dan UUD Irak tanpa adanya batas waktu yang berlaku. Undang-undang darurat tersebut diberlakukan untuk semua elemen, baik sipil maupun militer.[11]
Keempat, Saddam berambisi mendapatkan pengakuan sebagai Pemimpin Dunia Arab seperti yang pernah disandang Presiden Mesir Gammal Abdul Nasser dan Anwar Al-Sadat. Untuk mewujudkan ambisinya itu, Saddam membentuk pembangunan sektor militer secara besar-besaran untuk menyerang keberadaan bangsa non-Arab seperti bangsa Yahudi, Persia, dan Kurdi. Usaha tersebut Saddam lakukan demi mempertahankan kekuasaan dan kepopuleran sebagai tokoh pembela Bangsa Arab.[12]
Berdasarkan strategi politik yang Saddam lakukan seperti uraian di atas, akhirnya Saddam menjadi tokoh nomor satu di Irak dengan menjabat sebagai presiden, sekretaris jendral partai, dan Panglima Angkatan Bersenjata Irak. Saddam mengontrol penuh Partai Ba’ath dan militer sehingga mampu menguasai dan mendominasi setiap proses pengambilan keputusan dan menentukan orientasi kebijakan di dalam dan luar negeri Irak.[13]

Masa Dewasa Saddam Hussein Hingga ke Dunia Politik 

Saddam Hussein adalah Presiden yang paling lama memerintah dan paling kontroversial di antara pemimpin-pemimpin Irak. Saddam lebih menyukai kemasyhuran daripada uang atau kekayaan yang diperolehnya dari kekuasaan. Saddam Hussein merupakan tokoh yang membuat orang benci kepadanya sekaligus mencintainya. Bahkan, seseorang rela mati demi mempertahankan atau sebaliknya justru berusaha melenyapkan Saddam Hussein.[1]
Ketika masih muda, Saddam mengaggumi sistem pemerintahan Adolf Hitler. Kegandrungannya pada totalitarianisme turun dari pamannya, Khairallah Talfah. Saddam juga mempelajari ajaran Stalin dan komunisme. Kemudian, Saddam memadukan sistem politiknya sendiri dengan ajaran politik Stalin dan Nazi.[2] Sementara itu, nasionalisme Irak yang dibangun oleh Saddam Hussein didasari atas gagasan nasionalisme kultural. Oleh karena itu, penekanan atas nasionalime kultural ini yang mengakibatkan pengkultusan kepemimpinan Saddam. Dalam bahasa yang lebih sederhana Saddam membentuk stigma pada masyarakat umum bahwa Saddam adalah Irak dan Irak adalah Saddam.[3]
Pemikiran politik Saddam terbentuk dari pendidikan keluarganya, khususnya pamannya. Khairallah Talfah, paman Saddam, mewariskan sikap anti-Inggris kepadanya. Menjelang dewasa, Saddam juga sangat tertarik dengan gagasan nasionalisme Arab yang ia peroleh saat di sekolah lanjutan. Sejak muda, Saddam memang sering terlibat dalam intrik politik Irak yang saat itu terkenal dengan konspirasinya. Bukan hanya itu, insting politik yang dimiliki Saddam sesuai dengan lingkungan politik tempatnya berada.[4]

Masa Anak-anak Sampai Masa Remaja Saddam Hussein
Saddam Hussein al-Majid al-Tikriti lahir pada tanggal 28 April 1937 di Desa Auja, Tikrit, 160 kilometer Barat Laut Baghdad, Irak. Saddam berasal dari keluarga petani miskin. Ayahnya, Hussein al-Majid, adalah seorang petani penggarap yang tidak memiliki sawah sendiri. Ada yang menyebutkan Hussein al-Majid meninggal, tetapi ada pula rumor yang beredar bahwa Hussein al-Majid meninggalkan istrinya sebelum Saddam lahir. Saddam berasal dari klan Al-Khatab. Ibunya bernama Sabha Tuflah al-Mussallat.[1]
Setelah ibunda Saddam menikah lagi dengan Ibrahim Hassan, Saddam mulai mengenal lingkungan yang penuh kekerasan, teror, kebencian, dan kebengisan. Tidak ada perbaikan perekonomian keluarga Saddam setelah ibundanya menikah dengan Ibrahim Hassan. Apalagi setelah Saddam memiliki tiga saudara tiri dari pernikahan ibundanya yaitu, Barzan Ibrahim Hassan, Watban Ibrahim Hassan, dan Sab’awi Ibrahim Hassan. Keadaan keluarga Saddam semakin mengalami kesulitan ekonomi. Oleh karena itu, ayah tirinya tidak mau menyekolahkan Saddam. Bahkan, sebagai anak laki-laki, Saddam sudah harus ikut mencari nafkah. Akibatnya, Saddam sering dipukuli ayah tirinya karena dipaksa bekerja keras di ladang dan beberapa kali Saddam harus mencuri telur, ayam, dan barang-barang kecil lainnya agar keluarganya dapat makan. Kemudian ketika Saddam berusia 10 tahun, Saddam menjadi anak yang brutal dan belum bisa membaca.[2]
Karena Sabha, Ibu Saddam, merasa tidak mampu menghidupi Saddam, ia menyerahkan Saddam kepada saudaranya, Khairallah Tulfah, yang diangkat menjadi Wali Kota Baghdad setelah Saddam berkuasa. Di bawah didikan pamannya, Saddam mulai mengenal dunia politik. Saddam menyelesaikan sekolah menengah pada usia 16 tahun dan pada masa ini juga Saddam sudah memimpin sebuah geng jalanan. Ketika berusia 18 tahun, Saddam pindah ke Baghdad untuk sekolah. Akan tetapi, di Baghdad Saddam bukannya tekun mencari ilmu, melainkan Saddam lebih tertarik dengan aksi-aksi revolusioner dan berkeliaran di jalan raya dengan pistol gelapnya yang selalu diselipkan di balik baju. Kehidupan yang keras seperti itulah yang menyebabkan Saddam tumbuh sebagai seorang anak yang penuh keberanian, tidak mudah digertak, dan terbiasa hidup di bawah tekanan. Ditambah lagi, perlakukan ayah tirinya ketika ia masih anak-anak menjadikan Saddam terbiasa menyaksikan dan mengalami perlakuan kasar dan tidak manusiawi. Kebiasaan inilah yang membentuk karakter Saddam. [3]


Peristiwa Halabja pada Maret 1988 
Peristiwa Halabja merupakan pembantaian dengan senjata kimia yang dilakukan pemerintah Irak di bawah rezim Saddam, termasuk Partai Ba’ath, terhadap Etnis Kurdi pada bulan Maret tahun 1988. Halabja bukanlah tragedi terakhir yang menimpa kaum Kurdi. Tragedi ini menjadi simbol pelanggaran hak asasi manusia paling buruk yang pernah dialami Etnis Kurdi di Irak. Bahkan, setelah Saddam ditangkap pasukan koalisi, Saddam tetap menganggap tindakan itu benar. Ketika diinterogasi, Saddam menjawab bahwa Etnis Kurdi yang sebenarnya telah mencuri tanah Irak.[1]
Hal inilah yang menjadikan Peristiwa Halabja menimbulkan reaksi dunia. Peristiwa ini telah menimbulkan kecaman berbagai negara. Senat Amerika Serikat mendesak pemerintah Presiden Ronald Reagen untuk segera menjatuhkan sanksi ekonomi Baghdad. Begitu pula dengan Eropa yang telah menggelar sidang di Strasbourg, Perancis, pada Oktober 1988 untuk menghimbau para anggota sidang agar mengenakan sanksi kepada Saddam Hussein.[2] Kemudian disusul pada 5 April 1991 Dewan Keamanan PBB melakukan sidang yang ke-2.982. Dalam sidang ini dikeluarkan resolusi nomor 688 yang intinya menuntut agar Irak menghentikan tekanan terhadap seluruh rakyatnya, termasuk terhadap Etnis Kurdi.[3]
Nama Halabja diambil dari nama desa tempat terjadinya peristiwa penjatuhan bom gas yang dilakukan Irak, yaitu Halabja. Halabja merupakan salah satu kota yang berpenduduk 50 ribuan jiwa yang mayoritas penduduknya adalah Etnis Kurdi. Halabja merupakan salah satu kota yang ada di provinsi Sulaymaniyah, terletak sekitar 75 kilometer dari Sulaymaniah, sekitar 260 kilometer Timur Laut Baghdad atau sekitar 150 mil (241km) di utara bagian Timur ibukota Irak, Baghdad. Letak Halabja juga dekat dengan perbatasan Iran, sekitar 11 kilometer dari Iran. Di kota inilah, pada Jumat 16 Maret 1988, pesawat-pesawat tempur Irak membombardir Halabja. Masyarakat Kurdi mengingat peristiwa yang terjadi pada 16 Maret 1988 ini sebagai “Jumat Berdarah”.[4]
Menurut kisah Khidir Hamza[5] dalam buku Saddam’s Bombmaker, dinyatakan bahwa ia menyaksikan perlakuan brutal rezim Saddam terhadap jutaan rakyat Kurdi di Irak Utara. Menurutnya, pada suatu sore, di bulan Maret 1988, Saddam ingin mencoba keampuhan senjata kimia. Targetnya adalah Desa Halabja, perkampungan yang dihuni 40 ribu orang Kurdi. Sore itu, pesawat-pesawat ringan beterbangan di langit desa sekaligus menyemprotkan gas beracun. Sengaja dipilih waktu sore hari karena udara tidak terlalu lembab dan berangin sehingga reaksi zat kimianya masih efektif. Setengah jam setelah penyemprotan, tim dokter diterjunkan ke desa untuk mendokumentasikan efisiensi gas beracun yang salah satunya hasil rancangan devisi Atomic Energy. Para dokter yang bertugas menghitung korban mati, luka, dan sakit parah serta merinci segala hal yang ditimbulkan gas tersebut.[6]
Versi lain lain menceritakan bahwa peristiwa Halabja terjadi pada 16 Maret 1988, pagi hari. Di dekat perbatasan Iran terdapat desa Halabja, yaitu desa yang tidak beraspal dan terdiri dari rumah-rumah sederhana. Pada hari itu Ali Hassan al-Majid tiba di Halabja dengan perintah dari saudaranya sendiri, Saddam, untuk membumihanguskan Halabja. Kemudian pukul 11.00 waktu Halabja, tiba-tiba terdengar seperti badai pasir, senjata kimia menghantam tanah Halabja. 20 pesawat terbang di atas rumah penduduk Kurdi di Halabja, Irak Utara. [7]
Menurut para ahli kimia, pesawat yang masuk ke Halabja menjatuhkan gas beracun seperti gas Mustrad, pembunuh syaraf, Tabun, VX dan Sianida.[8] Kemudian pasukan yang dipimpin Ali itu segera menembakkan peluru kimia ke seluruh penjuru desa yang terletak di lereng pegunungan. Menurut saksi mata, saat itu terlihat awan asap mengepul ke atas berwarna putih, hitam, dan kemudian kuning. Ada pula saksi mata yang menyatakan banyak wanita dan anak-anak yang langsung mati seketika di pinggir jalan saat awan dan tanah di Halabja mulai tercampur dengan kimia. Para orang tua yang sedang beraktivitas tiba-tiba berhenti bernapas, kemudian mati.[9] Setelah serangan ini disusullah serangan kedua yang terjadi di saat siang dan malam hari pada tanggal 19 Maret 1988.[10]
Ali merupakan tokoh yang bertanggung jawab dan otak dari penggunaan kimia serta pelaku yang menggas mati Etnis Kurdi. Ali yang menumpas pemberontakan Kurdi di Utara Irak tahun 1988 dengan senjata kimia. Jendral Ali Hasan al-Majid merupakan saudara misan atau tepatnya sepupu Saddam yang diberi kekuasaan di provinsi Kurdi Irak dari tahun 1987—1988. Pada masa kekuasaan Ali, sedikitnya 5000 orang Kurdi tewas, terutama wanita, anak-anak, dan orangg tua secara mengerikan dalam serangan gas kimia Mustrad itu. Kemudian Ali diangkat menjadi menteri dalam negeri Irak. Setelah peristiwa Halabja, Ali Hasan al-Majid dikenal sebagai Ali Kimia. [11] Di tahun 2006, Ali pun dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi pada 30 Desember 2006 oleh pengadilan Irak dengan tuduhan genosida dan dinyatakan bersalah terhadap tewasnya 100.000—180.000 warga Kurdi dalam Kampanye Anfal yang dilakukannya tahun 1988.[12]
Diduga senjata yang digunakan untuk membunuh orang Kurdi adalah senjata biologi dan kimia yang mematikan, ditaranya yaitu; Anthrax, gas saraf VX, Aflaktosin, Botulinum Toksin, Sarin, dan gas Mustard. Kendati demikian, adapula yang menyatakan bahwa Irak sebenarnya belum pernah menggunakan senjata biologi untuk menangani konflik di dalam dan luar negeri. Irak diduga hanya menggunakan senjata kimia ketika perang Iran dan ketika menghadapi pemberontakan orang Kurdi di Irak Utara. Akan tetapi, informasi itu dibantah oleh pemerintahan Irak, pemerintah Irak beralasan senjata kimia miliknya tidak pernah digunakan untuk sipil, termasuk untuk menghadapi orang-orang Kurdi di Irak Utara karena senjata kimia hanya digunakan untuk kegiatan militer.[13]
Menanggapi bantahan Irak, Amerika menjadi ragu dan curiga terhadap pernyataan Irak. Hal ini disebabkan komite Irak terkait dengan senjata pemusnah massal, belum bersedia memberi laporan akhir mengenai program pembuatan senjata kimia dengan gas VX kepada masyarakat internasional. Oleh karena itu, timbullah argumen Amerika yang menyatakan bahwa Irak masih memiliki dan memproduksi senjata biologi dan kimia. Amerika juga menuduh bahwa senjata kimia yang dimiliki Irak digunakan untuk tujuan ganda yaitu digunakan untuk menangani masalah sipil dan juga digunakan untuk keperluaan militer.[14]
Penggunaan senjata kimia dalam penyerangan Irak terhadap Etnis Kurdi, khususnya di Halabja, disebabkan adanya program produksi senjata kimia dan biologi Irak yang mengalami kemajuan pesat sejak awal tahun 1980-an. Pimpinan Irak saat itu, Saddam Hussein, mendukung secara penuh baik dari segi keuangan, ilmu pengetahuan, teknis, dan sumber daya manusia untuk program senjata kimia dan biologi. Program ini bertujuan untuk membantu tercapainya kemajuan di bidang pengetahuan infrastruktur. Lebih dari itu, Irak juga berhasil menjalin kerja sama dengan negara-negara sahabat di dunia Arab, Eropa Barat, dan Timur untuk proses pembuatan senjata kimia dan biologi. Sejak itu, dibangunlah sebuah praktik riset dan pengembangan senjata kimia Irak yang dikenal dengan “lembaga Mashna”, pusat riset dan pengembangan senjata kimia dan biologi Irak. Sementara itu, Jerman Barat (sebelum penyatuan Jerman tahun 1989) dan sejumlah perusahaan AS tercatat telah terlibat memasok teknologi untuk memproduksi senjata kimia dan biologi ke Irak. Akan tetapi, ketika Irak diembargo oleh negara-negara Barat, termasuk oleh PBB, semua praktik riset, pengembangan, serta produksi senjata kimia dan biologi berpindah dari satu tempat ke tempat lain di seluruh negeri Irak.[15]
Hasil dari program kimia Irak adalah terciptanya beberapa jenis gas beracun seperti gas Sarin dan gas VX yang merupakan jenis senjata kimia paling berbahaya. Mengenai gas VX, Irak hanya sebatas melakukan riset tanpa memproduksi gas tersebut. Hal ini disebabkan di setiap percobaan, gas VX selalu mengalami kerusakan dalam waktu tidak lebih dari tiga pekan dari masa produksinya. Akan tetapi, keadaan menjadi lebih berbahaya karena Irak diketahui berhasil memproduksi jenis gas ganda dari jenis VX. Hal ini diketahui dari keterangan Irak pada April tahun 1990 melalui ancaman Presiden Saddam Hussein yang menyatakan bahwa akan membakar separuh Israel jika mencoba menyerang Irak.[16]
Di bidang senjata biologi, Irak fokus melakukan riset dan memproduksi beberapa jenis senjata pemusnah, terutama jenis Botulinium, Aflatoksin, dan Antrax. Keadaan ini diketahui setelah kasus perginya dua menantu Saddan Hussein, Hussein Kamal Hassan dan Saddam Kamel Hassan yang melarikan diri ke Jordan pada Agustus 1995. Kedua menantu Saddam menyampaikan informasi ke internasional mengenai adanya kegitan pembuatan senjata biologi di Irak. Oleh karena itu, Irak terpaksa mengakui keberadaan program senjata biologi dan program tersebut telah memasuki tingkat produksi untuk tujuan militer dengan memasang bakteri biologi pada 166 bom dan 25 rudal balistik tipe al Hussein.[17]
Efek dari bahan kimia dan biologi yang digunakan sebagai senjata pemusnah massal yaitu pertama, Anthrax adalah zat yang mengandung bakteri penyerang saluran pernapasan dan kulit. Kedua, Botulinum adalah kuman yang dapat meracuni makanan sehingga mengakibatkan rasa mual, diare, bahkan dapat menyebabkan kelumpuhan pernapasan dan jantung. Ketiga, Etaflaktosin adalah sejenis racun yang berasal dari jamur sehingga dapat menyebabkan kanker hati. Keempat, gas saraf VX adalah sejenis senjata kimia yang sangat mematikan, sedangkan gas ganda VX adalah jenis gas yang paling efektif dan memiliki kekuatan penghancur terdahsyat. Gas ganda merupakan gabungan dari dua unsur zat yang dapat menghasilkan daya ledak yang sangat dahsyat.[18] Kelima, gas saraf Sarin yang bekerja cepat dan mematikan karena cepat terserap melalui paru-paru, mata, kulit, terutama jika ada luka atau goresan kecil maka akan mengakibatkan kelumpuhan paru-paru.[19] Selanjutnya, keseluruhan senjata kimia mematikan tersebut digunakan Irak untuk melawan musuh-musuhnya dengan cara dimasukan ke dalam hulu ledak peluru kendali. [20]
Akibat peristiwa Halabja ini, pada hari pertama 5.000 orang tewas dan dua hari berikutnya 12.000 jiwa warga Halabja tewas dan sekitar 7.000—10.000 penduduk lainnya mengalami luka akibat terkena paparan gas Mustard. Sebagian besar penduduk Halabja yang terluka dibawa ke rumah sakit di ibukota Iran, Teheran. Menurut beberapa laporan, 75% dari korban adalah perempuan dan anak-anak. Mereka yang selamat karena segera berlari ke arah pegunungan di sekitar Halabja sambil menutupi wajah mereka dengan kain basah. Penduduk Halabja yang selamat pun menunjukan gejala yang umumnya disebabkan keracunan gas Mustrad yaitu cacat, buta, luka terbakar pada kulit, dan sesak napas.[21]
Sementara itu, Sekitar 2,25 juta penduduk Kurdi di Irak Utara yang selamat dari pengeboman senjata pemusnah massal meninggalkan desanya untuk mengungsi di wilayah yang aman dari serangan Irak. Oleh karena itu, Etnis Kurdi menjadi tersebar ke berbagai negara yang berdekatan dengan Irak. Sekitar satu juta pengungsi tinggal di 70 tenda yang dibangun Iran. 750.000 orang lainnya masih terlantar karena mencari tempat yang aman dan lebih dari 600.000 orang berlindung di Turki. Adapun alasan Turki menerima Etnis Kurdi di Irak karena rasa simpati terhadap para pengungsi dan alasan kemanusiaan. Pemerintah Turki menyediakan semacam perkampungan suaka. Bahkan, pemerintah Turki menolak permintaan Irak untuk mengejar kaum Kurdi yang melarikan diri ke Turki. Meskipun demikian, Turki secara tegas sudah menyatakan bahwa pihaknya hanya memberi tempat penampungan sementara demi alasan kemanusiaan di perbatasan Turki-Irak.[22]
Walaupun Irak telah menjanjikan amnesti terhadap penduduk Kurdi yang melarikan diri ke Turki, tetapi janji tersebut tidak banyak didengarkan oleh pengungsi Kurdi. Hanya sedikit penduduk Etnis Kurdi yang kembali ke Irak. Sampai pada Agustus 1989 tercatat setidaknya 36.000 orang Kurdi Irak masih tetap bertahan di Turki, tepatnya di tiga Kamp terpisah di Turki Timur. Rakyat Kurdi sudah tidak percaya lagi dengan janji Saddam dan telah lama menindas Etnis Kurdi di Irak.[23]
Selain menimbulkan dampak jangka pendek, pengeboman gas di Halabja juga menimbulkan dampak jangka panjang. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian dan laporan para ahli medis yang ditempatkan di Halabja, yaitu meningkatnya penderita penyakit kanker usus besar dan kanker pernapasan, serta tingginya tingkat keguguran, kelainan genetik, dan kemandulan yang diderita oleh wanita. Selain itu, gas kimia yang disemprotkan ke wilayah Halabja masuk ke tanah dan air yang berada di Halabja yang menyebabkan keduanya terkontaminasi zat-zat kimia berbahaya.[24]
Setelah Peristiwa Halabja terjadi, Badan Intelejen Pertahanan Amerika Serikat pada awalnya menganggap Iran adalah pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa ini. Asumsi tersebut muncul karena tragedi ini terjadi di sekitar 8—10 mil (14km—16km) dari perbatasan Iran. Setelah diselidiki, sebagian besar bukti yang ditemukan menunjukkan bahwa serangan gas di Halabja merupakan serangan dari Irak. Inggris, AS, Australia, dan Belgia pun segera mengirimkan bantuan kemanusiaan kepada para pengungsi Kurdi dari ancaman Saddam. Kemudian Perancis bersama sekutunya berhasil pula meresmikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk penindasan Irak terhadap Etnis Kurdi.[25]
Dua belas negara Eropa dalam pertemuan di Luxembourg sepakat bahwa Presiden Irak, Saddam At-Takriti, seharusnya dihadapkan ke pengadilan penjahat perang karena menginvansi negara lain, menggunakan senjata kimia terhadap warga sipil, dan merekayasa pemusnahan terhadap Etnis Kurdi. Beberapa menteri luar negeri dalam sidang ini berpendapat bahwa Saddam bertanggung jawab secara pribadi atas nasib warga Kurdi yang menjadi sasaran usaha pemusnahan. Menteri Luar Negeri Belgia dalam pembicaraan terbuka berpendapat juga bahwa timbul sebuah rezim baru akan menyelesaikan persoalan Kurdi. Selain itu, Tristan Jones, menteri muda Inggris di departemen luar negeri menyatakan bahwa berdasarkan konvensi PBB, Saddam dapat diadili di pengadilan Internasional. Masyarakat Eropa sepakat bahwa Saddam bertanggung jawab atas kejahatan perang yang dilakukannya terhadap etnis Kurdi. Konvensi 1948 yang ditandatangani sekitar 100 utusan berbagai negara tersebut dapat dijadikan alat untuk menangani kasus pembantaian, seperti penindasan Etnis Kurdi. Konvensi ini berisi pencegahan dan penghukuman kejahatan atau pembantaian yang dilakukan seorang atau golongan terhadap orang atau golongan lain.[26]
Irak, khususnya Saddam Hussein, menampik tuduhan dari negara internasional. Saddam menganggap serangan yang dilancarkannya terhadap warga Kurdi sebagai sesuatu yang wajar. Bagi Saddam, Etnis Kurdi telah lama menjadi beban bagi pemerintahan Saddam karena aksi separatisnya. Oleh karena itu, Saddam menjadikan Kota Halabja sebagai pusat sasaran serangan karena kota tersebut menjadi pusat pergerakan Kurdi untuk mendapatkan otonomi daerah. [27]
Untuk mengenang peristiwa Halabja, rakyat Kurdi mengadakan upacara peringatan Halabja setiap tanggal 16 Maret, baik di Kota Baghdad maupun di kota-kota yang mayoritas berpenduduk Kurdi seperti di Irak Utara. Selain itu, Etnis Kurdi membangun Monumen Halabja yang diresmikan 15 September 2003 untuk mengenang Etnis Kurdi yang menjadi korban dalam tragedi Halabja. Salah satu ruangannya adalah sebuah museum, tempat digelar diorama korban-korban bom kimia. Ada nenek yang tersungkur di saluran air, balita yang terkapar dengan mata terbelalak, dan sekumpulan bangkai domba putih. Menurut Ibrahim Hawramani, Direktur Monumen Halabja, monumen Halabja disusun dengan alami sesuai dengan lokasi dan posisi korban saat kejadian.[28]

 
Setelah Mustafa Barzani wafat (tahun 1979 di Amerika Serikat), jabatan ketua Partai Demokrasi Kurdistan dilanjutkan oleh puteranya, Massoud Barzani. Seperti ayahnya, Massoud Barzani juga terus memperjuangkan Kurdi walaupun sedang berada di pengasingan. Massoud Barzani pernah diasingkan di Timur Tengah, Uni Soviet, Eropa, dan AS. Selain itu, kecakapan Massoud Barzani dalam berbahasa Parsi, Arab, Inggris, Kurmanje, dan Sorani membuat Massoud Barzani memperoleh dukungan dari Etnis Kurdi baik yang berada di pegunungan, maupun kalangan terpelajar yang tinggal di daerah perkotaan. Selain itu, alasan para pendukung berpihak kepada Massoud Barzani yaitu terkait kebijakan yang diambil Massoud Barzani mengenai rekonsiliasi dengan Baghdad. Kebijakan ini menjadikan Massoud Barzani sebagai satu-satunya pilihan realistis yang bisa diambil oleh Etnis Kurdi pada saat itu. Massoud Barzani dalam usianya yang ke-50 tahun mampu menempatkan pengaruhnya di Kurdistan bagian Barat Laut Irak, termasuk wilayah yang berbatasan dengan Turki.[1]
Seiring dengan perjalanan waktu, Partai Demokratik Kurdistan Irak (PDK Irak/Kurdistan Democratic Party-Irak yang disingkat KDP-Irak) yang dipimpin Barzani mengalami kemerosotan dukungan. Kemudian perjuangan diteruskan Jalal Talabani dari Uni Patriotik Kurdistan (UPK/Patriotic Union of Kurdistan, yang disingkat PUK). Jalal Talabani merupakan seorang penentang Barzani sejak tahun 1950. Oleh karena itu, UPK merupakan partai pesaing utama PDK-Irak. Jalal Talabani keluar dari PDK-Irak dan membentuk UPK. Jalal Talabani membangun UPK sebagai partai modern dengan cara membuat surat kabar dan jaringan radio yang menjangkau kalangan terpelajar Kurdi. Kemudian setelah mendapat dukungan pasukan Irak, UPK memerangi PDK-Irak tahun 1980-an.[2]
Sementara itu, pada tahun 1980 Saddam melancarkan Perang Teluk I terhadap Iran. Pada tahun 1984, Irak mengeluarkan kebijakan untuk menawarkan otonomi Kurdi kepada Talabani dengan syarat Kurdi harus membela Irak dalam perang Iran-Irak. Namun, tahun 1986 Talabani dan Massoud Barzani membentuk aliansi antara PDK dan PDK-Irak atas permintaan Iran.[3] Saddam terus berusaha mempengaruhi UPK Jalal Talabani, tetapi gagal. Sedangkan, Pemerintah Teheran cukup berhasil meredam gerak peshmarga[4] di Kurdistan Iran. Sekalipun jumlah Etnis Kurdi di Iran merupakan yang terbesar kedua setelah Turki, Iran mampu merangkul Kurdi Irak dan Iran. Di sisi lain, Irak gagal memanfaatkan Etnis Kurdi Iran untuk melawan pasukan Khomeini selama berlangsungnya Perang Teluk Parsi I. Ketika Irak menyerang wilayah Kurdistan Iran, peshmarga di wilayah itu justru berpihak pada pasukan Khomeini untuk mengusir pasukan Saddam Hussein. Akan tetapi, ketika Iran menyerbu Kurdistan Irak, para peshmarga justru membantu Iran melawan Irak. Keberhasilan Iran merebut Kurdistan Irak awal 1988 tidak lepas dari dukungan kaum Kurdi di Irak melawan pasukan Khomeini.
Setelah Perang Teluk usai, terjadilah pemberontakan Kurdi melawan rezim Saddam yang bersamaan dengan pemberontakan kaum Arab Syiah di Selatan. Alasan kurdi melakukan pemberontakan yaitu untuk memanfaatkan situasi kekacauan dalam negeri Irak yang tengah angkat senjata melawan Baghdad. Dalam waktu tiga pekan, semua wilayah Kurdi di Irak Utara bergolak. Kemudian, kota-kota seperti Ranya, Sulaymaniah, Erbil, Duhok, Aqra, dan Kirkuk dikuasai Kurdi, termasuk provinsi Mosul. Sementara itu, dengan cepat Garda Republik segera bergerak mengahalau pemberontakan Kurdi dan dalam tempo seminggu wilayah-wilayah itu sudah direbut kembali oleh pemerintah Baghdad. Bahkan, setelah tercapainya gencatan senjata antara Iran dan Irak tahun 1988, pasukan Saddam Hussein berusaha menyerang kembali basis-basis peshmarga yang dicapnya sebagai “kaum pengkhianat”. Oleh karena itu, Etnis Kurdi kali ini tidak hanya kehilangan kota-kota yang berhasil dikuasai seperti Ranya, Sulaymaniah, Erbil, Duhok, Aqra, Kirkuk, dan Mosul, tetapi Etnis Kurdi Irak juga harus meninggalkan tanah Kurdistan di Irak Utara. [5]
Aksi Garda Republik ini mengakibatkan lebih dari satu juta orang Kurdi mengungsi ke berbagai penjuru negara yang berada di sekitar Kurdistan, seperti perbatasan Turki dan Iran. Nasib baik berpihak pada pengungsi Kurdi yang bergerak ke perbatasan Iran karena pengungsi Kurdi diterima baik oleh Iran. Sebaliknya, para pengungsi Kurdi yang memilih mencari tempat berlindung ke Turki harus menerima nasib buruk karena Pemerintah Turki tidak mau menerima. Penolakan Turki terhadap para pengungsi Kurdi menyebabkan Etnis Kurdi terdampar di pegunungan dan banyak di antara mereka yang mati.[6]
     Kebijakan yang dikeluarkan oleh Saddam Hussein mengenai gerakan Etnis Kurdi di Irak, dikenal dengan Kampanye Anfal.[7] Pada awal Kampanye Anfal, tindakan rezim Saddam meliputi perampasan harta benda, tanah, surat-surat berharga, hukuman penjara, hukuman mati terhadap masyarakat Kurdi. Selanjutnya, dengan pengangkatan Ali Hassan al-Majid sebagai Sekretaris Jenderal Partai Ba’ath yang menangani Irak Utara pada perang Iran-Irak 1980-1988, Kampanye Anfal menjadi puncak dari sejarah panjang serangan terhadap Kurdi di Irak. Saddam menganggap Etnis Kurdi sebagai pengkhianat, agen Iran, atau pembelot. Oleh karena itu, Ali Hassan al-majid menetapkan Etnis Kurdi akan kehilangan hak milik pribadi dan perkampungan Kurdi di Irak Utara. Oleh karena itu, kebijakan Anfal menjadi diperluas dengan rangkaian eksekusi massal dan meratakan perkampungan Kurdi dengan menggunakan senjata kimia pemusnah massal termasuk dalam serangan Irak ke Halabja dengan menggunakan gas Mustard dan Sarin pada Maret 1988.[8]

Perlawanan Etnis Kurdi Sebelum Rezim Saddam Hussein (1880--17Juli 1979) 

Populasi Etnis Kurdistan Irak tersebar di wilayah, antara lain: Sulaymaniah sebanyak 24,7% merupakan daerah terbanyak yang dihuni oleh bangsa Kurdi, 24,3% di Arbil, 23,4% di Mosul, 16,8% di Kirkuk, 8% di Diyala, Khanaqin, Mandali, dan daerah yang paling sedikit penduduk Kurdi ada di Baghdad yaitu 2,6%.[1] Beberapa wilayah Kurdistan di Irak terdapat wilayah yang memiliki cadangan minyak, yaitu Kirkuk dan Mosul.[2]
Dalam sejarah Kurdi di Irak, tercatat seorang pahlawan Islam besar bernama Sultan Salah al-Din Yusuf ibn Ayyub (1137--1193) yang lahir dari keluarga Kurdi di Kikuk. Dialah sultan besar pendiri Dinasti Ayyubiyah di Mesir yang oleh Barat dikenal dengan nama Sultan Saladin. Dia pahlawan akbar Islam yang pernah menaklukan Jerusalem (2 Oktober 1187), menguasai Mesir, Suriah, Yaman, dan Palestina. Saladin dilahirkan dari keluarga Kurdi di Tikrit, Mesopotamia (1138).[3]
Di Timur Tengah, komunitas Kurdi di Irak dan Turki memiliki keinginan paling gigih dalam menuntut kemerdekaan. Hal ini disebabkan berbagai rezim pemerintahan yang berkuasa di Baghdad dan Turki selalu melakukan penindasan terhadap aksi pemberontakan Etnis Kurdi. Dengan demikian, masalah Kurdi menjadi salah satu masalah konflik terlama di kawasan Timur Tengah, selain masalah Palestina. Namun, bedanya dengan perjuangan bangsa Palestina, bangsa Palestina hanya berhadapan dengan satu negara (Israel), sedangkan Etnis Kurdi harus menghadapi tiga negara sekaligus yaitu rezim di Turki, Irak, dan Iran yang menjalin kerja sama untuk menumpas pemberontakan bangsa Kurdi. [4]
Perjuangan Etnis Kurdi dimulai pada abad ke-19, tepatnya pada 1880. Pemberontakan pertama yang dipimpin tokoh Kurdi, Syaikh Ubaydullah, di Provinsi Hakari yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Usmaniyah Turki. Perjuangan Etnis Kurdi menjelang runtuhnya Dinasti Turki Usmani pada tahun 1919 dipimpin Syaikh Mahmud hingga berhasil memproklamasikan Sulaymaniah sebagai wilayah merdeka dari kekuasaan Inggris. Peristiwa Sulaymaniah ini tercatat sebagai pemberontakan Etnis Kurdi secara besar-besaran yang pertama kali pada abad ke-20. [5]
Kemudian sejak berakhirnya Perang Dunia I, tepatnya tahun 1920, Liga Bangsa-Bangsa (dalam hal ini Inggris) bermaksud memberikan kemerdekaan kepada bangsa Armenia dan Kurdi. Pemerintahan Usmaniah di Konstantinopel sudah menandatangani Perjanjian Sevres mengenai pembentukan Kurdistan, Tanah Air Etnis Kurdi. Perjanjian perdamaian itu ditandatangani oleh Kekhalifahan Usmaniah dan sekutu, kecuali Rusia dan AS, di Sevres, Perancis. Salah satu isi perjanjian itu pada Pasal 64 menyatakan bahwa Turki memberikan dukungan atas otonomi Kurdistan kepada Etnis Kurdi di sebelah timur Sungai Eufrat Irak Utara, termasuk Kota Mosul. [6] Akan tetapi, perjanjian Sevres tidak pernah diratifikasi. Bahkan, pada 1922 kawasan Mosul yang kaya raya akan minyak dimasukkan ke dalam wilayah Irak.
Pada tahun 1923, Syaikh Ahmad Barzani dan adiknya, Mullah Mustafa Barzani, mulai gencar melancarkan kampanye guna mendapat otonomi wilayah Kurdistan Irak. Akan tetapi, di tahun yang sama (1923) perjanjian Sevres dibatalkan dan diganti dengan Perjanjian Lusanne. Di dalam Perjanjian Lusanne tidak disebutkan masalah Kurdi. Sejak saat itulah setiap kebijakan pemerintahan Baghdad tidak pernah membicarakan masalah otonomi atau kemerdekaan Kurdi lagi. [7]
Digagalkannya perjanjian Sevres disebabkan wilayah Kurdistan sudah terintegrasi ke dalam negara Turki, Irak, Iran, Soviet, dan Suriah sejak negara-negara tersebut berdiri. Dengan adanya integrasi, sulit bagi negara-negara itu melepaskan sebagian wilayahnya untuk dijadikan negara Kurdistan merdeka. Inilah yang juga menjadi pembeda antara masalah Kurdi dengan masalah Palestina. Bila Palestina semula sudah memiliki tanah air yang kemudian direbut oleh Israel, dalam sejarah Kurdi belum pernah memiliki sebuah tanah air yang merdeka kecuali “Republik” di Mahabad yang hanya berumur setahun. [8]
Beratnya Turki, Irak, Iran, Soviet, dan Suriah melepaskan Kurdistan dari wilayahnya disebabkan takutnya kehilangan kekayaan minyak yang terkandung di wilayah yang dihuni Kurdi. Faktor inilah yang menyebabkan kolonialis Inggris mengurungkan niatnya membantu pembentukan negara Kurdi. Hal ini dapat dilihat dari sikap Inggris yang enggan membantu Etnis Kurdi ketika terjadi pertikaian antara Irak, Turki, dan Kurdi untuk merebut wilayah Mosul dan Kota Kirkuk yang kaya akan sumber daya minyak. Kolonialis Inggris ternyata memihak Irak. Inggris ingin membalas jasa para pejuang nasionalis Arab yang turut meruntuhkan Dinasti Ottoman (Khilafah Usmaniyah) di Turki. Selain itu, Inggris merasa curiga terhadap negara Turki yang diploklamirkan oleh Kemal Ataturk pada 1923. Inggris pun memberi lampu hijau bahkan mendorong pemerintahan monarki Irak yang mengklaim wilayah Mosul sebagai bagian dari negara kesatuan Irak.[9]
Akhirnya, 8 Juli 1926 di Ankara, parlemen Turki menyetujui wilayah Mosul sebagai teritorial Negara Irak dengan imbalan perusahaan minyak Turki mendapat jatah minyak Kirkuk selama 25 tahun. Namun, Turki tidak pernah kehilangan impiannya untuk menjadikan wilayah Mosul sebagai negara bagian Turki. Tidak sedikit kaum intelektual dan mantan pejabat Turki yang hingga kini tetap mengkalim Mosul adalah wilayah Turki. Selain itu, Turki masih tetap memiliki keinginan untuk menguasai Kurdi karena jika Turki bisa menganeksasi wilayah Mosul, maka hilanglah peluang Etnis Kurdi untuk mendirikan negara Kurdistan di Irak Utara. Ankara khawatir jika kurdi menguasai Kota Mosul, maka Kurdi akan menjadi kuat sehingga dikhawatirkan Kurdi akan melakukan pemberontakan untuk menuntut kemerdekaan Kurdi dari pemerintahan Turki.[10]
Pada tahun 1924, Sulaymaniah yang telah dikuasai Kurdi jatuh ke tangan Inggris. Namun, Inggris meminta monarki Irak untuk menghormati bahasa, budaya, dan adat istiadat Etnis Kurdi dengan leluasa sampai Irak merdeka dari kolonial Inggris pada tahun 1932. Pada masa inilah nasib warga Kurdi di Irak lebih baik dibandingkan dengan Etnis Kurdi yang tersebar di negara lain.[11]
Ketika Irak sudah merdeka dan mendirikan pemerintahan monarki, rezim Jendral Abd al-Karim Kassem, Kurdi mendapat janji otonomi dari pemerintahan monarki Irak untuk pertama kalinya. Namun, saat Mullah Mustafa Barzani mulai menegaskan kedaulatannya di Kurdistan yang terletak di Irak Utara, Kerajaan Baghdad justru menyatakan perang dengan Kurdi. Sejak saat itu dimulai kembali sejarah pergerakan bersenjata Etnis Kurdi di Irak untuk menuntut otonomi penuh dalam mengelola tanah Kurdistan tanpa campur tangan Baghdad seperti yang telah disepakati pada revolusi 1919 di Sulaymaniah.[12]
Etnis Kurdi tidak lagi memiliki cita-cita untuk membentuk negara Kurdistan merdeka. Etnis Kurdi hanya ingin memiliki wilayah Kurdistan yang otonom untuk mengatur diri mereka sendiri serta mempertahankan identitas dan sistem sosial budaya mereka. Cita-cita itulah yang kemudian diperjuangkan oleh tokoh-tokoh intelektual Kurdi seperti Mullah Mustafa Barzani dengan memimpin Partai Demokratik Kurdi bersama dengan tokoh intelektual Kurdi lainnya pada 1943. Etnis Kurdi kemudian berhasil sedikit demi sedikit mendapatkan otonomi di Irak, seperti wilayah Irbil dan Badinan.[13]
Selanjutnya, pada 1945 pemerintah Baghdad kembali menyatakan kekuasaan Irak atas Kurdistan. Pernyataan tersebut membuat Mullah Mustafa Barzani segera memimpin perjuangan Etnis Kurdi untuk melawan Irak. Dalam perlawanan kali ini, Mullah Mustafa Barzani kalah dan ia pindah ke Mahabad, di Barat Laut Iran. Pada 1946, Kurdi mendapat perlindungan dari Uni Soviet untuk membuat kongres guna mendirikan Republik Kurdi. Akan tetapi, sebulan kemudian “Republik Mahabad” dibubarkan oleh pemerintah Iran. Ketika pemerintah Iran kembali merebut Mahabad, Mullah Mustafa Barzani melarikan diri ke Uni Soviet sampai revolusi Irak tahun 1958. [14]
Pada 1960, para pejuang Kurdi melakukan berbagai pemberontakan di Irak Utara. Hal ini disebabkan penindasan rezim Irak terhadap Etnis Kurdi Irak yang semakin parah. Dalam pemberontakan Etnis Kurdi, tentara Peshmerga milik Mullah Mustafa Barzani berhasil menguasai seluruh pegunungan di Timur Laut Irak. Pemberontakan Kurdi yang dipimpin oleh Mullah Mustafa Barzani ini meluas ke Mosul, Arbil, dan Kirkuk sebagai kota-kota utama di Kurdistan. Dampak dari serangkaian pemberontakan Kurdi kali ini adalah pemerintah Baghdad membubarkan Partai Demokrasi Kurdistan dan menyatakan partai tersebut sebagai partai terlarang pada tahun 1961.[15]
Akhirnya, perjuangan panjang Kurdi kali ini berujung pada Deklarasi Maret 1970. Mullah Mustafa Barzani dan wakil Presiden Saddam Hussein duduk semeja dan menandatangani perjanjian yang berisi pemerintahan Irak akan menawarkan otonomi kepada Kurdi dan akan mengikutsertakan Kurdi di dalam pemerintahan Baghdad. Persyaratan perjanjian ini yaitu Etnis Kurdi tidak melakukan pemberontakan lagi dan melakukan gencatan senjata di kedua belah pihak. Akan tetapi, Mullah Mustafa Barzani mengajukan syarat juga. Mullah Mustafa Barzani meminta agar ia tetap sebagai komandan Peshmerga dan Kirkuk menjadi bagian dari wilayah Kurdistan. [16]
Bagi Kurdi, Kirkuk adalah sumber kehidupan Etnis Kurdi karena banyak mengandung minyak di dalamnya. Kurdi tidak mau kehilangan untuk kedua kalinya sumber penghasil minyak Kirkuk, setelah sebelumnya Kurdi harus menerima kehilangan Mosul yang jatuh ke tangan Irak. Selain itu, Kurdi ingin mempertahankan Kirkuk sebagai kota Etnis Kurdi karena Kirkuk merupakan ibukota spiritual nasionalisme Kurdi.[17]
Ternyata, usaha perdamaian antara Irak dan Etnis Kurdi gagal. Kegagalan tersebut disebabkan pemerintah Irak hanya memberikan otonomi kepada Etnis Kurdi yang menempati kawasan Irak Utara (Arbil, Dahuk, dan Sulaymaniah) tanpa Kirkuk masuk ke dalam wilayah Kurdistan.[18] Pemerintahan Baghdad bersikeras mempertahankan Kirkuk karena wilayah tersebut merupakan penghasil 30% minyak bagi Irak. Selain itu, kegagalan Perjanjian damai itu disebabkan pula karena keinginan Etnis Kurdi untuk memperluas otonomi wilayah yang meliputi Kota Kirkuk dan wilayah Mosul. Sedangkan, AS dan Turki khawatir jika Kurdi menguasai Kota Kirkuk maka akan membuka pintu bagi negara Kurdi untuk membentuk negara di Irak Utara dan memicu bangkitnya nasionalisme Etnis Kurdi di Turki Tenggara. Oleh karena itu, AS dan Turki berusaha menghalangi keinginan Kurdi dengan membiarkan Irak mempertahankan Kikuk dan Mosul.[19]
Dalam perjanjian damai antara Kurdi dan pemerintahan Irak kali ini, yang menjadi perdebatan hebat yaitu kepemilikan wilayah Mosul dan Kirkuk. Untuk itu, penulis akan memberikan profil wilayah yang diperebutkan Etnis Kurdi dan Irak. Pertama, adalah wilayah Mosul yang terletak di tepi Barat Sungai Tigris, dekat dengan reruntuhan Kota Kuno Ninive (ibukota Kerajaan Assiria). Mosul merupakan ibukota provinsi Irak Utara. Mosul memiliki daerah yang subur. Kota ini berpenduduk sekitar 664.221 jiwa dengan mayoritas penduduknya, terutama di pinggiran kota, adalah Etnis Kurdi. Sejak zaman dahulu, Mosul menjadi daerah pemberhentian para khalifah yang melakukan perjalanan dari kawasan Laut Tengah ke India. Oleh karena itu, kota penghasil minyak, semen, kapas, tekstil, dan gandum ini diperebutkan oleh berbagai bangsa. Kota ini pernah dihancurkan Kerajaan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu, cucu Jenghis Khan (1918—1932). Kemudian pada masa Dinasti Usmaniyah (1534), Mosul menjadi daerah yang sangat penting dalam perdagangan pada masa itu. Selanjutnya, Mosul juga menjadi kota yang menarik bagi kolonialisme Inggris karena adanya kandungan minyak di wilayah tersebut. Pada tahun 1923—1925 Mosul diperebutkan oleh Turki dan Irak. Akhirnya, pada 1926 Liga Bangsa-Bangsa memutuskan Mosul menjadi milik Irak.[20]
Kota Kirkuk yang menjadi perebutan Irak-Kurdi merupakan kota yang dibangun di tepi Sungai Khasa, di kaki Gunung Zaqaros. Kirkuk berada di wilayah sisa-sisa peninggalan sejarah yang berumur lebih dari 5000 tahun. Di zaman Kerajaan Assiria, sekitar tahun 1700 SM, Kirkuk masih bernama Arrapkha. Pada masa itu, Arrapkha merupakan salah satu dari lima kota besar di Assiria.[21] Arrapkha, sebelum akhirnya bernama Kirkuk atau Karkuk, juga sering disebut Karkha d’Baith Slukh atau Karkha D-Bet Slokh yang berarti kota yang dikelilingi benteng. Arrapkha pada mulanya adalah negara-kota, tetapi disatukan oleh empat kota lainnya menjadi wilayah Kerajaan Assiria dengan ibukota Ninive.[22]
Sejak dahulu, Kirkuk disebut Beth-Gamai yang berarti kehangatan atau tanah yang selalu memberikan kehangatan karena tanahnya subur dan banyak air. Itu pula yang menjadi alasan perebutan Kota Kirkuk. Di zaman Kekhalifahan Usmaniyah, nama Kirkuk sudah masuk dalam kamus terbitan Istanbul tahun 1896. Dalam kamus itu disebutkan bahwa Kirkuk terletak di wilayah Mosul. Kirkuk merupakan pusat pemerintahan Sharazour Sanjak yang berpenduduk 30.000 orang. Disebutkan pula bahwa di kota itu terdapat benteng, 36 Masjid, 7 Sekolah, 15 Takias atau rumah orang miskin, 1.281 toko, 8 tempat pemandian umum, dan 3 Gereja.[23]
Selain karena kesuburan tanah dan kekayaan airnya, Kirkuk juga menjadi terkenal karena dalam catatan sejarah sejak zaman Sumeria, Babilonia, dan Assiria, disebutkan bahwa di daerah Kirkuk ditemukan “api abadi” yang disebut Bab-Gurgur. Api abadi itu ditemukan di daerah yang bernama Bab-Gurgur dan disebut api abadi karena api itu terus menyala siang-malam. Ternyata api abadi yang dimaksud adalah api yang berasal dari perut bumi yang banyak mengandung minyak. Minyak sudah dikenal di kota itu sejak zaman kuno, paling tidak sejak tahun 600 SM. Catatan sejarah menjelaskan bahwa pada masa itu minyak mentah digunakan untuk membuat jalan dan bahan perekat dalam membuat tembok. Bangsa Babilonia juga menggunakan minyak untuk senjata. Kandungan minyak di dalam perut bumi Kirkuk yang membuat kota tersebut sejak dahulu selalu diperebutkan berbagai negara.[24]
Pada 1908, Inggris menemukan minyak di Masjid I-Sulaimant. Penemuan minyak ini menjadi pendorong dibentuknya British Petroleum. Sekitar tahun 1914, perusahaan minyak Turki mendapat konsesi dari Kekhalifahan Usmaniyah untuk mengeksploitasi minyak di wilayah Mosul, termasuk Kirkuk dan Baghdad. Karena minyak pula, di saat Perang Dunia I berkobar, pada Maret 1917 tentara Inggris menduduki Baghdad. Inggris berada pada posisi yang menguntungkan karena saat itu terjadi revolusi Arab melawan penguasa Usmaniyah yang beraliansi dengan Jerman. Akhirnya, dengan jatuhnya Kekhalifahan Usmaniyah di Turki mengakibatkan wilayah Arab terbagi menjadi daerah kekuasaan Perancis dan Inggris pada 1918. Bukan hanya itu, Perancis juga memperoleh Suriah, Lebanon Raya, dan beberapa wilayah di Irak bagian Utara, sementara Inggris menguasai Baghdad dan Basra.[25]
Pada tahun 1925, sudah mulai terdapat eksplorasi tambang-tambang minyak secara sistematis dan teratur yang dilakukan Inggris dengan mempekerjakan 25 orang Inggris dan 2.500 orang Irak, di wilayah Dooz-Khurmatu, Kirkuk. Hasil dari ekplorasi tersebut menghasilkan minyak dari tempat penyulingan di Bab-Gurgur untuk pertama kalinya pada tanggal 27 Oktober 1927. Berdasarkan ekspolarasi yang dilakukan oleh Inggris, diperkirakan perut bumi Kirkuk mengandung 10 miliar barel minyak. Hasil eksplorasi itu pula yang menjadikan Kirkuk selalu diperebutkan Etnis Kurdi dan pemerintah Baghdad. Kontak senjata bahkan pertempuran berdarah berulang kali pecah di wilayah itu sehingga pada tahun 1970-an dan 1988 tentara Irak menghancurkan lebih dari 3.000 kampung Kurdi di wilayah Utara itu.[26]
Kembali pada pembahasan mengenai gerakan perlawanan Kurdi terhadap rezim Saddam Hussein di Irak. Setelah perang teluk I, Kurdistan ditetapkan sebagai daerah perlindungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Seluruh tentara Irak ditarik keluar. Bahkan PBB menetapkan sanksi larangan terbang pada pesawat militer Irak. Kaum Kurdi menjadi tenang ketika Kurdi bersatu padu membantu pasukan koalisi melengserkan Saddam dari kursi kekuasaannya dan untuk beberapa saat Pashmerga jeda dari kegiatan angkatan senjata. Mullah Mustafa Barzani pun bisa bernapas lebih lega. Akan tetapi, ternyata keputusan Pemerintah Baghdad untuk memberikan otonomi kepada Kurdi tanpa disertai Kirkuk diumumkan saat peringatan keempat Manifesto Maret 1974. Mullah Mustafa Barzani pun segera menolak keputusan sepihak tersebut. [27]
Sejak penolakan Mullah Mustafa Barzani tersebut, dalam kurun waktu tiga tahun sejak Deklarasi Maret diumumkan, rezim Ahmad Hasan al-Bakr mencoba menghilangkan nyawa Mullah Mustafa Barzani. Usaha rezim Baghdad mendapat reaksi dari Mullah Mustafa Barzani. Mullah Mustafa Barzani segera kembali menghimbau rakyat Kurdi melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Baghdad. Rakyat Kurdi pun segera kembali memenuhi pangggilan untuk memperjuangkan eksistensi Etnis Kurdi.[28]
Pemberontakan Etnis Kurdi Kembali menyulut peperangan Irak-Kurdi sampai tahun 1975. Pada peperangan kali ini, pihak Mullah Mustafa Barzani kalah lalu menyingkir ke perbatasan Turki dan Iran.[29] Akibat kekalahan tersebut, status Kirkuk kemudian menjadi persoalan yang belum jelas penyelesaiannya antara Kurdi dan pemerintah Irak Arab. Kurdi kemudian meminta bantuan pada AS melalui Teheran. AS memberi bantuan kepada Kurdi, tetapi bantuan yang diberikan AS tidak berlangsung lama. Hal ini disebabkan Shah Iran Mohammad Reza Pahlevi membuat kesepakatan dengan Saddam Hussein di Aljier untuk tidak mendukung Mullah Mustafa Barzani pada 1975. Kesepakatan ini mengakibatkan berhentinya bantuan dari Washington ke Kurdi karena bantuan dari AS yang disalurkan melalui Teheran ditutup oleh Shah Iran Mohammad Reza Pahlevi.
Mengetahui hal tersebut, Mullah Mustafa Barzani langsung menghubungi Teheran. Sepekan setelah Mullah Mustafa Barzani ke Teheran, Mustafa baru mendapatkan penjelasan singkat dari Shah. Alasan Shah menghentikan dukungan pasokan bantuan dari Amerika untuk membangun kepercayaan dengan Baghdad. Bahkan, Shah memberi ultimatum bahwa perbatasan Iran akan tetap terbuka selama 30 hari untuk orang Kurdi yang akan keluar-masuk Iran. Setelah itu, perbatasan akan ditutup permanen. Mustafa kembali ke Kurdistan Irak dengan tanpa hasil dan kekecewaan. Mullah Mustafa Barzani pun melarikan diri dan pemberontakan etnis yang masih terjadi di Irak Utara akhirnya ditumpas oleh pemerintah Baghdad.[30]
Pada tahun yang sama (1975) ketika keadaan Kurdi sedang genting, berdirilah Uni Patriotik Kurdistan yang didirikan oleh mantan anggota Partai Demokratik Kurdistan yang berselisih faham dengan Mustafa Barzani, Jalal Talabani. Pada tahun 1978, terjadilah konflik intern di kubu Kurdi. Dalam konflik tersebut banyak memakan korban. Sementara itu, keadaan Mustafa Barzani yang sudah tua, tidak kuat lagi meneruskan karier politiknya. Kondisi ini membuat Mustafa Barzani mengundurkan diri pada 1979 dan digantikan dengan putranya, Massoud Barzani.[31]

Asal-usul Etnis Kurdi 
Etnis Kurdi adalah kelompok Etnis Indo-Eropa. Kepercayaan Etnis Kurdi mayoritas menganut Islam Sunni Ortodoks. Jumlah Etnis Kurdi saat ini diperkirakan 25 juta jiwa, dari tersebut sekitar 75 % kelompok Sunni, 15 % Syiah, dan 10% lagi adalah penganut Yezidi-isme dan Zoroastrian. Pakaian khas Etnis Kurdi adalah celana kain baggy khas Kurdi.[1] Etnis Kurdi dikenal sebagai bangsa nomaden yang tangguh dan sanggup bertahan di daerah-daerah sulit. Hal ini disebabkan kaum pria dari Etnis Kurdi sudah terbiasa dengan kegiatan sehari-hari yang berat, seperti berjalan puluhan kilometer, menembus lereng-lereng pegunungan, naik-turun gunung tanpa membawa bekal makanan dan minuman, dan terbiasa dengan suhu gunung yang dingin. Dengan kata lain, Etnis Kurdisudah begitu dekat dengan alam dan hidup secara berkelompok.[2]
Keadaaan wilayah Etnis Kurdi yang bergunung-gunung mengakibatkan pertalian yang erat antara manusia dan alam. Tidak heran jika muncul istilah “di mana pegunungan menjulang, di situ orang Kurdi tinggal.” Istilah tersebut mempunyai dua makna yaitu pertama, dari generasi ke generasi Etnis Kurdi memang tidak pernah lepas dari kejaran para penguasa di Irak, Iran, dan Turki. Oleh karena itu, ceruk-ceruk gunung digunakan Etnis Kurdi sebagai markas perlindungan yang sulit dilacak musuh. Kedua, disebabkan kurang pedulinya bangsa lain terhadap penderitaan yang dialami Etnis Kurdi. Penindasan hak asasi manusia dari berbagai rezim di Irak, Iran, dan Turki ditambah lagi dengan adanya perpecahan di dalam Etnis Kurdi sendiri yang terjadi sejak tahun 1800-an membuat Etnis Kurdi menganggap tidak mempunyai kawan, kecuali pegunungan.[3]
Etnis Kurdi merupakan salah satu kelompok etnis terbesar di dunia yang belum memiliki negara sendiri. Kendati demikian, wilayah tempat bermukim Etnis Kurdi dikenal sebagai Kurdistan, tanah Etnis Kurdi.[4] Wilayah Kurdistan tersebar di wilayah sekitar 640.000 kilometer persegi dari Barat Laut Iran sampai Timur Laut Irak, Armenia, Timur Turki, dan Timur Laut Suriah.[5] Wilayah Kurdistan yang terbesar itu berada di tiga negara, yaitu Turki, Irak, dan Iran. Di ketiga negara tersebut, wilayah Kurdi memiliki cadangan minyak, air, dan mineral. Di samping itu, sebagian besar sungai yang mengalir ke Suriah, Irak, dan Iran bagian Barat berasal dari Kurdistan. Etnis Kurdi banyak tinggal di daerah pedesaan dan umumnya Etnis Kurdi bermata pencaharian sebagai petani atau menggembala domba. [6]
Sebagian besar Etnis Kurdi berada di negara Suriah, Irak, Iran dan Turki. Selain itu, terdapat pula komunitas-komunitas kecil Etnis Kurdi yang tinggal di republik bekas Uni Soviet dan Lebanon. Adapun populasi Etnis Kurdi yang tersebar di berbagai negara berjumlah 40 juta orang di Turki 52%, di sinilah populasi Kurdi terbanyak di dunia. Peringkat kedua terbanyak terdapat di Iran 25,5%. Di Irak 16%, Suriah 5%, dan yang paling sedikit berada di Armenia dan Azerbaijan yaitu 2%.[7]
Etnis Kurdi termasuk sebagai etnis yang cukup tua. Ada berbagai informasi yang menyebutkan informasi asal-usul Etnis Kurdi. Pertama, ada yang menyatakan bahwa Etnis Kurdi berasal dari bangsa Medes yang masuk ke Parsi (Iran) dari kawasan Asia Tengah. Mereka menguasai daerah pegunungan Parsi dari tahun 614 sampai 550 SM. 14 abad kemudian, mereka memeluk agama Islam setelah kedatangan pasukan Arab Islam dari daratan ke daerah pegunungan Parsi.
Kedua, terdapat pula keterangan dari para sejarawan yang meyakini bahwa Kurdi berasal dari Etnis Guti, yaitu etnis yang berada di hulu Mesopotamia sejak ribuan tahun silam tepatnya di Pegunungan Zagaros. Bangsa ini pada tahun 3000 SM dikenal sebagai bangsa yang ganas dan pernah menyerbu Babilonia, kerajaan besar yang terletak di antara Sungai Eufrat dan Tigris yang sekarang bernama Irak.[8]
Ketiga, terdapat pula versi lain tentang Kurdi berdasarkan etimologi. Kata Kurdi pertama kali disebut dalam tulisan-tulisan kuno berbentuk baji (cuneiform) Sumeria sekitar 3000 SM. Catatan lain juga mengungkapkan bahwa nama Kurdi muncul pada abad ke-7 setelah Dinasti Turki Usmaniah berhasil mengislamkan bangsa Kurdi. Cerita dari naskah Sumeria yang lain menyebutkan bahwa Kurdi berhubungan dengan sebuah negeri yang bernama Kardaka. Sementara sejarawan Yunani Kuno, Xenopon, menyebut bahwa kata Kurdakai sebagai asal kata Kurdi. Sedangkan, menurut sejarah Assiria menyebutkan pada masa Raja Tiglath Pileser ada Etnis yang bernama Kurti-e.[9]
Keempat, berdasarkan sumber lain ada juga yang menyebutkan bahwa mereka adalah orang Indo-Eropa kuno yang secara etnis berbeda dengan Arab, Turki, dan Iran. Etnis Kurdi berbicara dalam bahasa Kurdi dengan beberapa dialek dan memiliki budaya yang berbeda juga dengan budaya yang hidup di sekitarnya. Disebutkan pula Etnis Kurdi adalah keturunan dari Medes, seorang tokoh yang disebut-sebut dalam Kitab Perjanjian Lama.[10]
Kelima, di dalam tradisi lisan disebutkan bahwa ada raja bernama Zahhak dari Persia yang diceritakan suatu ketika pernah menjalani hubungan yang terlarang dengan golongan setan sehingga tumbuhlah sepasang ular ganas di bahu kiri dan kanan sang raja. Konon setiap hari sepasang ular itu membutuhkan makanan berupa otak manusia. Karena setiap hari harus memakan otak manusia, rakyat Raja Zahhak semakin berkurang. Untuk itu, dicarilah cara mengatasi ular tersebut. Pada suatu hari seorang pendeta kerajaan menipu sepasang ular itu dengan tidak memberikan otak manusia seperti biasanya, melainkan, otak yang dicampur dengan otak sapi. Sang ular tidak menyadari hal itu. Kemudian pada saat yang bersamaan rakyat Zahhak yang ingin selamat melarikan diri ke pegunungan. Konon, rakyat yang melarikan diri inilah merupakan nenek moyang leluhur Etnis Kurdi saat ini. Soal kebenaran cerita itu tentu tidak ada yang berani menjamin kebenarannya karena cerita itu hanyalah hikayat yang hidup dalam tradisi lisan Etnis Kurdi.[11]

 
Perjalanan Konflik Keberagaman Etnis, Agama, dan Aliran Agama di Irak
Pengelompokkan etnis dan aliran agama menjadi konflik berkepanjangan di Irak sehingga memicu kemunculan nasionalime kiri, pemberontakan, kudeta, konfrontasi, dan pembantaian di Irak. Potensi konflik yang ditimbulkan karena masalah perbedaan aliran agama dan etnis menyebabkan konflik merambat ke arah ideologi politik. Pemicu konflik etnis dan aliran agama Syiah Arab menjadi kelompok agama mayoitas di Irak dan Sunni Kurdi sebagai kelompok minoritas mengalami penindasan hak asasi manusia. Penindasan ini terjadi disebabkan dominasi pengaruh kekuasaan Sunni Arab yang cukup lama, sejak sebelum Irak merdeka hingga rezim Saddam Hussein berjalan.
Konflik aliran agama sudah dimulai sejak khalifah ke-IV. Kelompok Sunni ingin memegang kekuasaan di Irak, tetapi penduduk Irak lebih banyak bermahzab Syiah. Ketika Ali bin Abi Tahlib memindahkan pusat pemerintahan Islam dari Madinah ke Kufah, Irak, karena sebagian besar para pendukung Ali (kaum Syiah) berada di Kufah ditentang oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan yang bermahzab Sunni. Pertentangan ini dilatarbelakangi keinginan Mu’awiyah untuk mendirikan Dinasti Umayah di Damaskus. Mu’awiyah berhasil mengalahkan Ali. Kemudian putera Ali, Hasan, melanjutkan kekuasaan bapaknya dengan melakukan pemberontakan terhadap Bani Umayah. Akan tetapi, Hasan terbunuh oleh tentara Mu’awiyah di Karbala, Irak.[1]
Sejak berdirinya Dinasti Bani Umayah, terdapat gerakan kaum Syiah yang ingin meraih kekuasaan politik. Pada zaman Bani Abbas (750-1258) terjadi migrasi Etnis Turki di Irak. Setelah runtuhnya Dinasti Abbas di Baghdad oleh bangsa Mongol di bawah kepemimpinan Hulagu, cucu Genghis Khan (1258M), terjadilah kekacauan di Irak. Kekacauan ini mengakibatkan munculnya pemetaan daerah politik kekuasaan berdasarkan etnis dan aliran agama di Irak. Irak bagian utara pada umumnya dihuni Etnis Arab dan Etnis Kurdi yang bermahzab Sunni, sedangkan di Selatan Irak dihuni penduduk Arab bermahzab Syiah. Masalah antara Arab dan non-Arab serta perbedaan antara golongan Sunni dan Syiah inilah yang menjadi sumber awal ketegangan di dalam Negeri Irak.[2]
Setelah keruntuhan kekuasaan Hulagu, Irak menjadi bagian dari Kerajaan Turki Usmani. Kemudian munculah Dinasti Safawid dari Persia yang bermahzab Syiah. Di bawah pimpinan Shah Abbas, Dinasti Safawid mampu merampas Baghdad dari tangan Kerajaan Usmani. Pada masa Sultan Mahmud II (1831) Irak kembali menjadi bagian dari kekuasaan Usmani. Pada masa Kerajaan Usmani kali ini, Irak resmi terbagi ke dalam wilayah yang berdasarkan aliran agama dan etnis yaitu pertama, Kota Baghdad yang berada di tengah wilayah Irak mutlak dikuasai Sunni Arab. Kedua, Kota Basra yang berada di Selatan Irak secara aliran agama dikuasai Syiah Arab. Ketiga, Kota Mosul yang berada di Utara Irak Sunni Kurdi.[3]
Selama kekuasaan Kerajaan Usmani, kaum Syiah Arab merupakan kelompok mayoritas dari segi kuantitas masyarakat, tetapi kekuasaan politik dan militer justru dipimpin dan didominasi oleh kaum minoritas Sunni Arab. Kaum Sunni Arab diperlakukan istimewa oleh Usmani karena adanya persamaan mazhab dan etnis dengan Dinasti Turki Usmani. Lebih dari itu, Usmani telah menjadikan masyarakat Sunni Arab di Irak sebagai benteng pertahanan dari serangan Syiah Persia yang semakin meluas di Kawasan Timur Tengah. Oleh karena itu, peranan Sunni Arab di Irak, baik dalam kehidupan pemerintahan maupun kemasyarakatan, semakin meningkat dan dapat melakukan monopoli kekuasaan politik pada abad ke-20.[4] Akan tetapi, Kerajaan Usmani tidak berhasil menciptakan sarana pemerintahan terpusat yang efisien di Irak sehingga Usmani tidak mampu menangani wilayah terpencil dan kabilah-kabilah minoritas di Irak. Masalah ini menyebabkan terjadinya kerusuhan yang dilakukan etnis-etnis yang tidak berkuasa, seperti Etnis Kurdi di Utara dan masyarakat yang bermahzab Syiah di Selatan. Sepeninggal Usmani, Irak diwarisi berbagai masalah Arab-non-Arab (etnis) dan Sunni-Syiah (mahzab) yang kemudian menjadi berbagai masalah regional di Irak yang berkepanjangan.[5]
Berkahirnya Perang Dunia I menyebabkan Usmani menyerahkan Irak ke Inggris (sekutu) akibat kalah perang. Kemudian setelah Inggris mendapat mandat dari Liga Bangsa-Bangsa, Inggris menjalankan pemerintahan dan administrasi negara di Irak pada tahun 1920.[6] Akan tetapi, pergantian kekuasaan yang terjadi seperti ini tidak mengubah peta politik Irak yang terbagi berdasarkan aliran agama dan etnis. Keadaan yang demikian menunjukkan bahwa Inggris mengakui dan mempertegas kondisi masyarakat Irak yang terbagi dalam tiga kelompok masyarakat yaitu Sunni Kurdi, Sunni Arab, dan Syiah.[7]
Kekuasaan Inggris di Irak tidak bertahan lama. Hal ini disebabkan pada tahun 1932 Irak memproklamasikan kemerdekaannya dari kekuasaan sekutu sekaligus Irak membentuk pemerintahan monarki. Untuk Pertama kali kepemimpinan kerajaan dikuasai oleh Dinasti Hasyim tahun 1932. Selanjutnya, pada masa Kerajaan Hasyim dimulailah aksi kudeta yang dilakukan oleh pihak militer, seperti yang terjadi untuk pertama kalinya pada masa Raja Faisal I (1932--1933). Kemudian dilanjutkan oleh puteranya, Ghazi (1933--1939) dan Pemerintahan Raja Faisal II dengan Abdul Ilah sebagai wali raja karena masih anak-anak pada tahun 1939--1958. Dengan demikian, kondisi masyarakat Irak pada masa monarki ini sudah terbagi ke dalam beberapa kelompok sosial agama, yaitu Sunni dan Syiah serta kelompok sosial etnis yaitu Arab, Kurdi, dan beberapa kelompok lainnya. Kendati demikian, kelompok Arab Sunni-lah yang telah mampu mendominasi pemerintahan Dinasti Hasyim. [8]
Runtuhnya kerajaan Hasyim karena kudeta militer mengakibatkan pemerintahan Irak dilanjutkan oleh kelompok militer yang dipimpin oleh Jendral Abdul Karim Qasim berasal dari Arab Sunni pada 14 Juli 1958. Pada pemerintahan Qasim ini, Etnis Kurdi mendapat janji akan diberi tanah Kurdistan. Akan tetapi, pada 1961 terjadilah pemberontakan Etnis Kurdi bawah komando Mustafa Barzani karena Qasim tidak memenuhi janjinya. Oleh karena itu, terjadilah pemberontakan Etnis Kurdidi bawah kepemimpinan Mustafa Barzani.[9]
Sepeninggalan Qasim, pemerintahan Irak dilanjutkan oleh pihak militer dari Partai Ba’ath yang mayoritas Arab Sunni, yaitu Kolonel Arif (1963--1966). Pada masa rezim Arif, masalah pemberontakan Kurdi di Utara belum juga dapat terselesaikan walaupun rezim Arif telah memberikan janji-janji otonomi bagi Kurdi. Setelah Arif meninggal, kepemimpinan dilanjutkan oleh Mayor Jenderal Abd al-Rahman Arif yang juga Arab Sunni. Kemudian Mayor Jenderal Abd al Rahman Arif dikudeta oleh Jenderal Hasan al-Bakar (17 Juli 1968) dari Partai Ba’ath. Pada massa rezim Jendral Hasan al-Bakar, yang menjadi salah satu masalah besar adalah pemberontakan Kurdi yang tidak terselesaikan. Setelah itu, pada Juli 1973 terjadi kudeta lagi oleh Nazim Kazzar, tetapi gagal. Peristiwa kudeta tersebut mengakibatkan Partai Ba’ath berusaha merangkul Partai Demokrasi Kurdi untuk bergabung ke dalam Front Nasional di bawah pimpinan Barzani, tetapi keinginan kedua belah pihak tidak tercapai.[10]
Dominasi Sunni dalam politik dan pemerintahan Irak masih terjadi walaupun sudah mengalami berbagai pergantian kepemimpinan sampai pemerintahan Saddam Hussein. Di bawah kepemimpinan Saddam Hussein yang berperan sebagai presiden sekaligus pemimpin Partai Ba’ath, kekuasaan Irak didominasi Islam Sunni Arab. Jabatan-jabatan di tingkat atas dan segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan dan administrasi negara diserahkan kepada kelompok Arab Sunni.
Sementara itu, Syiah yang menjadi kelompok mayoritas secara kuantitas di Irak, dalam pemerintahan ternyata Syiah tidak mendominasi, sama halnya dengan Etnis Kurdi, Persia, Turki, serta kelompok Nasrani dan Yahudi. Mereka juga mengalami penindasan dominasi rezim Sunni Arab di Irak. Pertikaian yang terjadi antara Syiah dan Sunni penyebab utamanya adalah politik, bukan budaya. Hal ini memunculkan kompetisi antara Sunni dan Syiah untuk memperebutkan posisi pemerintahan, hak memerintah, dan hak mendefinisikan arti nasionalisme di Irak. Oleh karena itu, para elit Sunni yang memerintah mengadopsi nasionalime Arab yang lebih luas sebagai ideologi utamanya, sedangkan Syiah lebih memilih nasionalime Irak yang menekankan perbedaan nilai-nilai dan warisan masyarakat Irak.[11]
Pergantian kekuasaan di Irak menunjukan kelompok Sunni merupakan kelompok minoritas secara kuantitas, tetapi berhasil memegang tradisi sebagai penguasa yang sangat kuat. Hal ini disebabkan adanya hubungan Sunni Irak dengan populasi Arab Sunni yang dominan di kawasan Timur Tengah. Hubungan ini membuat Arab Sunni di Irak cenderung menganggap diri mereka sebagai keturunan dan pewaris abad keemasan peradaban Islam Arab, pada zaman Kekhalifahan Abassiah di Baghdad sejak abad ke-8 sampai dengan berlangsungnya kekuasaan rezim Saddam Hussein di Irak. Dominasi Sunni dalam kekuasaan menyebabkan masyarakat Syiah terdeskriminasikan dalam kurun waktu yang lama.[12]
Kelompok Syiah menuntut rezim yang sedang berkuasa, Sunni, agar memberi peran politik dan pemerintahan yang lebih besar sesuai dengan kapasitas dan persentase populasi penduduk Syiah. Minimal kelompok Syiah ingin mengembalikan peran politik mereka seperti pada era monarki karena pada era tersebut Syiah terlibat aktif dalam pemerintahan Irak dari masa ke masa dan Kaum Syiah Irak dikenal memainkan peranan sangat penting dalam revolusi melawan kolonialisme Inggris pada masa revolusi. Pasca runtuhnya sistem monarki di Irak tahun 1958, banyak tokoh-tokoh Syiah yang menjadi pemimpin Partai Komunis Irak dan sebagian lagi bergabung dengan Partai Ba’ath. Kondisi ini menyebabkan peran politik Syiah menjadi menyusut tajam setelah berkuasanya Partai Ba’ath dan penumpasan Partai Komunis Irak. Keadaan itu membuat peran politik kaum Syiah semakin lemah. Akhirnya, Partai Ba’ath yang berkuasa saat itu berhasil meredam sikap oposisi Syiah terhadap pemerintah dengan memberi perhatian lebih pada pembangunan dan proyek renovasi tempat-tempat ibadah di Kota Najaf dan Karbala. Sikap politik Partai Ba’ath ini dilakukan untuk mencari simpati dari kaum Syiah. Akan tetapi, kaum Syiah Irak tetap merasakan kepahitan karena diperlakukan sebagai anak tiri oleh negara Irak dan merasa dizalimi oleh rezim Saddam Hussein.[13]
Sepanjang sejarah Irak sebelum tergulingnya Saddam Hussein, tidak hanya golongan mahzab saja yang mengalami konflik berkepanjangan, masalah etnis antara kelompok masyarakat Arab Sunni dengan masyarakat Kurdi Sunni juga menjadi konflik di Irak. Sunni Kurdi di Arab dan di Irak merasa termarginalkan, baik secara geografis maupun politik. Deskriminasi ini terjadi karena Etnis Kurdi merupakan etnis non-Arab. Kondisi ini diperburuk dengan anggapan Etnis Kurdi yang mengidentifikasikan dirinya non-Arab. Keberadaan non-Arab di sebuah negara yang mayoritas penduduknya Etnis Arab menjadi persoalan tersendiri bagi Etnis Kurdi. Aspirasi politik Etnis Kurdi yang bersifat provinsialisme menjadikan Etnis Kurdi sulit memperoleh akses dan pengaruh di sebuah negara yang didominasi Etnis Arab.
Pertikaian yang terjadi antara Etnis Arab dan Kurdi penyebabnya adalah politik. Sejak masa Rezim Saddam berkuasa, Etnis Kurdi tidak pernah mendapat bagian penting dan strategis dalam kehidupan bernegara di Irak. Oleh karena itu, Etnis Kurdi secara sporadis, selama tahun 1920-an dan selama Perang Dunia I, terus berusaha melepaskan diri dari pemerintahan pusat. Sejak tahun 196—1991, mereka melancarkan pemberontakan tingkat rendah terhadap pemerintahan pusat di Baghdad. Keadaan tersebut menyulut terjadinya perang yang lebih besar antara Kurdi dengan pemerintahan Baghdad pada tahun 1975, 1988, dan 1991.
Cita-cita Etnis Kurdi melakukan berbagai pemberontakan di Irak yaitu ingin lepas, bebas, dan merdeka dari kekuasaan Baghdad. Akan tetapi, jika dari sudut pandang kelompok Arab, kelompok Etnis Kurdi dianggap sebagai pemberontak dan pengkhianat bangsa Irak.[14] Oleh kerena itu, pemerintahan Baghdad selalu berusaha untuk menumpas eksistensi Etnis Kurdi di Irak. Bahkan, pemerintahan Baghdad tanpa mempertimbangkan nilai kemanusiaan lagi, mereka dengan sengaja menggunakan senjata kimia untuk menindak tegas Etnis Kurdi yang berada di Irak Utara. Tindakan ini menjadi salah satu kampanye Anfal yang melahirkan peristiwa yang diperingati Etnis Kurdi sebagai “Blood Friday” yaitu peristiwa Halabja pada Maret tahun 1988.

  Pengelompokkan Penduduk di Irak
Terbentuknya pengelompokkan etnis, agama, dan aliran agama di Irak berdasarkan letak geografis kota-kota di wilayah Timur, Barat, Utara, dan Selatan Irak. Lalu di Irak terbentuklah kelompok mayoritas dan minoritas. Kemunculan kelompok mayoritas dan minoritas karena adanya jumlah dan pengaruh suatu kelompok di Irak yang berbeda-beda.
Berdasarkan etnis, pembagian kelompok di Irak terdiri dari dua kelompok di beberapa wilayah Irak. Pertama, kelompok etnis mayoritas yaitu Etnis Arab yang memiliki jumlah dan pengaruh kekuasaan yang besar di Irak. Jumlah Etnis Arab sebanyak 75—80% dari seluruh penduduk Irak, pada Juli 2002 berjumlah 25.374.691 jiwa. Secara geografis, kelompok Etnis Arab berada di wilayah Selatan Irak yaitu dari Timur hingga Barat Irak. Penyebab terbentuknya kelompok Etnis Arab di Irak dapat dilihat dari sejarah Kota Baghdad. Baghdad merupakan pusat perdagangan, budaya, dan kota pelajar yang penting. Di kota inilah dahulu kebudayaan Arab dan Persia bercampur serta menghasilkan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan karya sastra. Kemudian kebudayaan Arab berkembang pesat di zaman Al-Ma’mun (813—833). Pada masa ini, Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan[1] walaupun Baghdad sempat dikuasai oleh bangsa Mongol dalam jangka waktu yang cukup lama. Akan tetapi, bangsa Arab yang pernah berkuasa sebelumnya di Irak telah membawa pengaruh kuat di dalam kehidupan budaya, agama, sosial, politik Irak sehingga pengaruh bangsa Arab masih mengakar di Baghdad.[2]
Kedua, kelompok Etnis minoritas. Kelompok Etnis minoritas terbesar di Irak adalah Etnis Kurdi. Jumlah Etnis Kurdi sekitar seperlima dari penduduk Irak atau berjumlah 15—20%. Etnis Kurdi tinggal di bagian Utara Negara Irak di sekitar Mosul, Kirkuk, Sulaymaniah, dan Rowanduz yang berdampingan dengan saudara-saudara mereka di Iran, Turki, Suriah, dan daerah-daerah yang dahulunya termasuk ke dalam Uni Soviet. Etnis Kurdi ini, bersama dengan saudara-saudara mereka dari negara lain, berjuang untuk membangun Negara Kurdistan di Irak Utara. Selain Etnis Kurdi, kelompok etnis minoritas di Irak yaitu Etnis Turki, persia, Assiria, dan Etnis Yahudi.[3]
Berdasarkan agama dan aliran agama, pembagian kelompok di Irak terdapat juga dua golongan. Pertama, kelompok mayoritas agama yaitu Islam dan kelompok agama minoritas non-Islam. Kelompok agama Islam terbagi lagi menjadi kelompok aliran agama Islam Sunni dan Islam Syiah. Di Irak, umat Syiah berjumlah mayoritas yaitu sebanyak 57% dari 17,8 juta penduduk Irak.[4] Kini Penganut mahzab Syiah sekitar 50%. Kaum Syiah merupakan golongan terbesar yang terkonsentrasi di kawasan Tenggara, Tengah, Selatan, dan Timur Irak. Wilayah tersebut merupakan dataran subur dan kaya sumber minyak seperti pada Kota Basra, Diwaniyah, Hillah, ‘Amarah, Kut, Kazimain, dan al-Thaurah. Di antara kota-kota tersebut, terdapat dua kota suci bagi kaum Syiah di dunia yaitu Najaf, tempat makam Sayyidina Ali menantu Nabi Muhammad SAW, dan Karbala yang merupakan tempat makam Sayyidina Hussein bin Ali putra kedua Sayyidina Ali.[5]
Syiah Irak memiliki sejarah panjang yang berhubungan dengan budaya Syiah Iran. Syiah Irak berasal dari Etnis Arab. Kelompok Syiah Irak memiliki landasan pemikiran dan politik yang berbeda dengan Syiah Iran. Syiah Irak berpendirian bahwa pijakan Syiah adalah Irak, bukan Iran. Selain itu, Syiah Irak berbeda pendapat dengan pimpinan Iran, terutama tentang pengangkatan kota suci umat Syiah di dunia. Menurut Pemimpin Spiritual Iran, Ayatollah Khomeini, kota suci umat Syiah di dunia adalah Kota Qom, bukan Najaf dan bukan pula Karbala di Irak.[6]
Kelompok aliran agama Islam di Irak yang kedua, yaitu kelompok Islam Sunni. Muslim Sunni Irak terbagi lagi menjadi Sunni Arab dan Sunni Kurdi. Sunni Arab merupakan kelompok minoritas dalam jumlah, tetapi mayoritas dalam pengaruh kekuasaan di Irak. Sunni Arab mendominasi wilayah-wilayah sekitar Baghdad, Mosul, dan Ar Rutbah yang dikenal sebagai “Golden Triangle”. Kemudian AS membuat istilah baru yang mereka sebut sebagai “Segitiga Sunni” yaitu kota-kota kekuatan Sunni yang terdiri dari kota Mosul, Ramadi, dan Baghdad. Kemudian terdapat juga kawasan Sunni lain yang berada di bagian Utara Irak seperti Kota Falluja, Tikrit, Samarra, dan Kirkuk. Kaum Muslim Sunni di Kota Ramadi di bawah pimpinan Shiekh Ahmed Kabisyi, Muslim Sunni di Kota Sammara di bawah pimpinan Sheikh Ayat Sammarrarie (pimpinan Partai Islam Irak), dan Muslim Sunni di Kota Tikrit di bawah pimpinan Sheikh Osama Tikriti (Pimpinan Partai Kemerdekaan Islam Irak) telah berhasil merekrut kader-kader Partai Ba’ath di kawasannya. Sedangkan, Sunni Kurdi terdapat di wilayah Kurdistan, Irak Utara.[7]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dilihat dari sisi agama, umat Muslim berjumlah paling banyak yaitu 97% yang terdiri dari Syiah 60—64%, kelompok Syiah ini terbagai lagi menjadi Syiah Etnis Persia dan Syiah Etnis Arab sebagai kelompok mayoritas berdasarkan jumlah. Akan tetapi, kelompok Syiah merupakan kelompok minoritas dalam kekuasaan di Irak. Selain itu, Muslim Sunni Irak yang merupakan minoritas berdasarkan jumlah penganutnya dengan total 33—37% dan juga terbagi menjadi Sunni Kurdi dan Sunni Arab. Akan tetapi, Sunni Arab merupakan kelompok mayoritas dalam pengaruh kekuasaan di Irak. Kelompok minoritas yang lain berasal dari aliran agama Kristen dan agama lainnya yang berjumlah 3%.[8]

  Latar Belakang Keberagaman Etnis dan Aliran Agama di Irak
Berdasarkan geografis, Irak adalah salah satu negara Arab di kawasan Timur Tengah. Irak berada di daerah bulan sabit subur (the fertile crescent) yang terletak di antara dua sungai yang melaluinya, yaitu Sungai Euphrat dan Sungai Tigris. Irak juga tidak memiliki batasan alami untuk mempertahankan diri dari kedatangan, pengaruh, bahkan serangan bangsa lain.[1] Oleh karena itu, sejak awal masehi Irak dijadikan pusat lintasan berbagai kekuatan, baik yang datang dari Timur maupun dari Barat, yaitu persia, Yunani, Romawi, Arab, Mongol, Usmani, dan Inggris. Dengan demikian, setiap bangsa yang pernah menguasai Irak pasti meninggalkan budaya dan pengaruhnya, baik sedikit maupun dalam jumlah banyak, pada kehidupan bangsa Irak.[2]
Irak memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang panjang. Irak, dahulu bernama Mesopotamia, merupakan salah satu pusat peradaban manusia tertua di dunia. Sebelum 3000 SM terdapat bangsa Sumeria di wilayah Mesopotamia yang mendirikan bangsa yang maju dengan sistem pertanian irigasi. Setelah itu, hiduplah bangsa Akadia, suatu ras Semitis di daerah sekitar Babilonia. Bangsa Akadia juga pernah mendirikan sebuah negara yang jangkauan daerahnya mencapai Laut Tengah. Kemudian sejak berkembangnya agama Islam, Irak menjadi sebuah negara Arab karena Irak menjadi salah satu daerah kekuasaan agama Islam pada 634M. Oleh karena itu, ciri budaya yang paling terlihat dan mendominasi penduduk Irak saat ini adalah ciri-ciri bangsa Arab dan Islam. Tidak heran jika saat ini Irak merupakan salah satu bagian dari dunia Arab yang berada di kawasan paling timur sehingga berbatasan langsung dengan sebuah negara yang bukan Arab, yaitu Iran, meskipun Irak-Iran sama-sama beragama Islam.[3]
Irak berbeda dengan negara Arab lainnya. Irak memiliki berbagai ragam bangsa dan aliran agama. Berdasarkan analisis para pakar politik kontemporer mengenai perjalanan sejarah Irak, Irak merupakan negara yang terpecah berdasarkan garis aliran agama dan etnis. Hal ini disebabkan perjalanan sejarah kebudayaan Irak yang panjang membuat penduduk Irak terbagi dalam beberapa kelompok yaitu pertama, berdasarkan etnis, Irak terbagi menjadi Arab, Persia, Turki, Kurdi, Asiria, Yahudi, dan etnis lainnya. Kedua, berdasarkan agama Irak terbagi menjadi Islam, Kristen, dan Yahudi. Kemudian dari kelompok agama terbagi lagi menjadi aliran agama diantaranya adalah Islam Syiah dan Islam Sunni.[4]

Metode Penelitian Ilmu Sosial
 

penelitian ilmu sosial yang menggunakan metode penelitian deskriptif analisis. Alasan penulis menggunakan metode ini yaitu pertama, penulisan yang mengangkat masalah yang berkaitan dengan masalah sosial. Kedua, teori yang diangkat penulis banyak dipengaruhi pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam ilmu sosial. Ketiga, penulis melakukan penelitian tidak hanya sampai pada taraf deskriptif, tetapi dilakukan sampai taraf inferensial dengan mengambil kesimpulan umum dari data yang diperoleh tentang objek persoalan, yaitu Halabja.
Penulis menggunakan metode deskriptif dari berbagai segi yang pertama, dari segi dimensi waktu. Metode desktiptif analisis dalam tulisan yang menggunakan metode penelitian yang menjelaskan data yang telah lampau sehingga metode penulisan yang digolongkan dalam kategori metode penelitian historis. Kedua, metode deskriptif analisis dari segi definisi. Metode deskriptif analisis dari segi definisi dibagi lagi menjadi definisi metode deskriptif dan definisi metode deskriptif analisis.[2]
Berdasarkan metode deskriptif definisi, tulisan yang merupakan pencarian fakta untuk menggambarkan situasi atau kejadian dalam peristiwa Halabja. Kemudian akumulasi data dasar yang diperoleh dengan cara deskriptif tidak penulis gunakan untuk mencari atau menerangkan hubungan, hipotesis, ramalan, atau mencari makna dan implikasinya terhadap peristiwa Halabja. Akan tetapi, penulis mencari faktor penyebab terjadinya peristiwa Halabja sehingga penulis dapat menentukan frekuensi, penyebaran suatu gejala, atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lain pada bangsa Irak umumnya dan Etnis Kurdipada khususnya.[3]
Tulisan yang menggunakan metode dekriptif analisis untuk mengkaji masalah, tata cara yang berlaku, situasi tertentu, termasuk hubungan kegiatan, sikap, pandangan, proses yang sedang berlangsung, serta pengaruh dari suatu fenomena yang terjadi di Irak, khususnya Etnis Kurdi. Penggunaan metode deskriptif yang dilakukan penulis tidak terbatas hanya pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi terhadap arti data yang telah didapatkan. Penulis juga berusaha memberikan uraian yang deskriptif terhadap data yang diperoleh sehingga penelitian ini dapat melukiskan realitas sosial di Irak, khususnya di Kurdistan.[4]
Untuk itulah penulis menggunakan metode deskriptif analisis. Penggunaan metode ini dapat dilihat dari ciri-ciri pokoknya, yaitu;
a) Penulis memusatkan penelitian pada masalah yang terjadi dalam peristiwa Halabja.
b) Penulis menggambarkan fakta-fakta mengenai masalah yang diselidiki sesuai dengan keadaan sebenarnya sehingga dengan interpretasi penulis diperoleh pemecahan masalah dari subjek dan objek penelitian.[5]
Adapun tahapan yang dilakukan penulis dalam menyusun data yang diperoleh yaitu diawali dengan tahap mengemukakan gejala masalah yang berhubungan dengan Halabja. Kemudian dilanjutkan dengan tahap mencari hubungan antara data yang satu dengan data yang lainnya. Setelah itu, melakukan pengembangan dengan cara memberikan penafsiran berdasarkan sumber yang akurat terhadap data yang telah ditemukan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metode dekriptif analisis merupakan langkah-langkah melakukan penelitian objektif terhadap gejala dalam suatu masalah yang diselidiki yaitu peristiwa Halabja dan faktor penyebab terjadinya peristiwa Halabja di Irak Utara pada Maret tahun 1988.[6]
Langkah-langkah penulis dalam menyusun tulisan yang berdasarkan teori-teori di atas, menggunakan metode penelitian sejarah. Metode ini terdiri dari empat tahapan, yaitu:
a) Heuristik
Pada tahap ini, penulis mengumpulkan data yang terkait dengan tokoh dan peristiwa yang dibahas dalam tema tulisan. Dalam proses pengumpulan data, penulis melakukan penelitian terhadap sumber-sumber kepustakaan. Penulis mencari data di beberapa perpustakaan seperti, Perpustakaan FIB, Perpustakaan FISIP, Perpustakaan jurusan Hubungan Internasional FISIP UI, Perpustakaan UI, Perpustakaan Azahra Condet, dan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah.
b) Kritik
Setelah penulis memperoleh data, penulis melakukan proses kritik intern dan ekstern terhadap data yang diperoleh. Kriteria utama yang menjadi dasar penentuan realibilitas sumber data dalam penulisan suatu karya adalah kedekatan jarak dan waktu dengan peristiwa sejarah. Selain itu, penulis juga mengkritik data berdasarkan tingkat keahlian dan keseriusan pembuat sumber data dalam melaporkan peristiwa tersebut.
c) Interpretasi
Langkah berikutnya adalah melakukan interpretasi data yang telah diolah dengan menggunakan beberapa teori yang dijelaskan oleh penulis dalam sub-bab landasan teori.
d) Historiogrfi
Tahap terakhir dari metode penelitian ilmu sosial, khususnya dalam ilmu sejarah yang menggunakan metode deskriptif analisis, penulis melakukan penulisan sejarah (historiografi). Dalam tahap ini, penulis memaparkan peristiwa yang terjadi dan memberikan penilaian atas peristiwa-peristiwa tersebut menurut sudut pandang sejarah, sosial, dan politik secara sistematis.


[1] Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian; Suatu Pemikiran dan Penerapan, Jakarta: Rineka Cipta dan Biana Adiaksara, 2005, hlm. 20.
[2] Ibid.
[3] Ibid., Soejono dan Abdurrahman, hlm. 21-22.
[4] Ibid., hlm. 22-23.
[5] Ibid., Soejono dan Abdurrahman, hlm. 23.
[6] Ibid., 24.
 
Teori Kekuasaan

teori kekuasaan yang ditulis oleh Machiavelli pada abad ke-15. Teori ini digunakan untuk memahami lebih dalam pola yang diterapkan Saddam Hussein dalam mempertahankan kekuasaannya sekaligus dalam menghadapi masalah Etnis Kurdi di Irak. Niccolo Machiavelli adalah seorang politikus yang lahir di kota Florence pada tahun 1469 M dan menjadi seorng ahli filsafat politik pada zamannya.
Dalam bukunya yang berjudul Sang Penguasa, Machiavelli berpendapat bahwa menjadi pemimpin yang ditakuti lebih baik daripada pemimpin yang dicintai.[1] Pemimpin yang dicintai akan membuka kesempatan bagi rakyatnya untuk memberontak. Menurut Machiavelli, pada umumnya manusia itu tidak tahu berterima kasih, mudah berubah sikap, penipu, dan pembohong. Manusia juga makhluk yang takut menghadapi bahaya dan rakus mencari keuntungan. Ikatan cinta adalah ikatan yang mudah putus karena manusia akan memutuskan ikatan tersebut apabila tidak menguntungkannya. Di pihak lain, rasa takut diperkuat oleh kengerian akan hukuman yang selalu efektif.[2] Pendapat Machiavelli didukung pula oleh pendapat Samir al-Khalil dalam Republic of Fear, The Politics of Modern Iraq, 1989 yang menyatakan bahwa dalam rezim otoritarian, legitimasi bisa dipertahankan dengan fear dan ketakutan. Rasa takut menjadi jantung politik partai serta perekat otoritas sejati.[3]
Saddam Hussein menerapkan teori kekuasaan dalam mempertahankan kekuasaannya dan kepentingannya di Irak, terutama dalam menghadapai masalah Kurdi. Saddam Hussein menyadari bahwa ia berasal dari golongan Sunni yang minoritas di wilayah Irak. Untuk tetap dapat menjalankan pemerintahan di tengah-tengah golongan Syiah dan Kurdi yang mayoritas, Saddam menjalankan teori tersebut. Segala macam bentuk perlawanan dan pemberontakan yang datang dari golongan Syiah dan Kurdi ditumpas dengan cara yang sangat represif. Cara tersebut melahirkan rasa takut bagi setiap golongan yang ingin menggulingkan pemerintahan Baghdad di bawah rezim Saddam Hussein.


[1] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa: Surat Seorang Negarawan Kepada Pemimpin Republik, terj. C. Woekisari, Jakarta: PT Gramedia, 1987, hlm. 68.
[2] Ibid, Niccolo Machiavelli, hlm 68-71.
[3] Kuncahyono, op.cit., Bulan sabit di atas Baghdad, hlm. 126.
 

Pembantaian Etnis Kurdi

Pembantaian Etnis Kurdi yang dilakukan oleh pemerintahan Baghdad di bawah kepemimpinan Saddam Hussein merupakan usaha yang dapat dikatakan genosida. Etnis Kurdi merupakan ras minoritas di Irak Utara yang keberadaannya terus ditekan oleh rezim-rezim di Irak, termasuk rezim Saddam Hussein. Adapun salah satu usaha yang digunakan Saddam Hussein untuk menekan keberadaan dan meredam pemberontakan Etnis Kurdi yaitu melakukan pembunuhan massal dengan menggunakan gas kimia beracun yang dapat menewaskan ribuan Etnis Kurdi di daerah Halabja, Irak Utara.
 
Genosida
Konvensi Majelis Umum PBB pada tanggal 9 Desember 1948 dan Resolusi PBB 260 (III) yang menerangkan tentang pengertian genosida. Genosida merupakan tindakan yang terdiri dari pembunuhan, kejahatan serius, kelaparan, dan pemindahan penduduk secara paksa yang dilakukan untuk menghancurkan seluruh atau sebagian suatu bangsa, kelompok etnis, ras, atau agama.[1]

  TEORI ETNIS & MINORITAS
Teori pemujaan terhadap kelompok etnis yang digagas Francis Bacon. Menurut Francis Bacon, pemujaan terhadap kelompok Etnis pada dasarnya terdapat dalam sifat manusia dan di dalam setiap rumpun atau etnis bangsa. Seluruh tanggapan maupun perasaan sesuai dengan tolok ukur kadar ego individu itu sendiri, bukan disesuaikan dengan tolak ukur dunia. Pemahaman hidup bermasyarakat bagi manusia seperti sebuah cermin setelah menerima sinar secara tidak beraturan, kemudian cermin mengubah dan menghilangkan keaslian bentuk bayangan suatu benda. Akan tetapi, benda tersebut masih memantulkan sifatnya sendiri ke dalam cermin itu.
Bukan hanya itu, penulis juga mengangkat teori tentang minoritas. Pengertian minoritas dalam hal ini adalah sebagian kecil penduduk yang memiliki beberapa ciri yang berbeda dan sering mendapat perlakukan berbeda. Hal ini timbul akibat kesadaran kelompok mayoritas mengenai perbedaan ciri-ciri yang dimiliki sebagian kecil penduduk sehingga pihak mayoritas melakukan tindakan yang mendorong terciptanya minoritas. Ciri-ciri yang berbeda itu berupa bentuk fisik, warna kulit, bahasa, dan budaya. Di samping itu, ada juga kelompok minoritas yang berjumlah mayoritas di dalam suatu negeri, tetapi dengan alasan tertentu negeri itu didominasi oleh kelompok lain yang memiliki ciri-ciri berbeda dan berjumlah lebih sedikit atau minoritas.


  
SINOPSIS: Ghosts of Halabja
 
Buku yang berjudul Ghosts of Halabja: Saddam Hussein’s Trial for The Kurdish Massacre oleh Michael J. Kelly merupakan buku yang membahas tentang eksekusi Saddam Hussein karena kejahatan terhadap penindasan hak asasi manusia terhadap Etnis Kurdi di Irak, khususnya pada peristiwa Halabja. Hukuman mati terhadap Saddam Hussein bukan suatu jawaban atas keadilan untuk mengungkap dan mengadili kasus peristiwa Halabja. Etnis Kurdi berharap dan menuntut agar peristiwa Halabja dapat dipertanggungjawabkan oleh semua pihak yang terkait dengan tragedi genosida yang dilakukan Saddam Hussein dan Partai Ba’ath. Penulis menggunakan sumber ini untuk mendapat tambahan informasi mengenai Halabja dan untuk membandingkan dengan data yang telah diperoleh penulis sebelumnya dari bahan atau sumber yang lain.
Peristiwa Halabja merupakan variabel pertama dalam skripsi ini. Salah satu buku yang membahas secara garis besar peritiwa Halabja berjudul Bulan Sabit di atas Baghdad, yaitu buku kumpulan artikel Kompas yang ditulis oleh Trias Kuncahyono dalam sub-bab “Kurdi Tidak Punya Kawan”. Selain itu, buku lain yang membahas peristiwa Halabja yaitu Detik-detik Terakhir Saddam Hussein, Kesaksian Wartawan TEMPO dari Baghdad, Irak yang ditulis oleh Rommy Fibri dan Ahmad Taufik dalam bab “Kurdistan Sebuah Tanah Air yang Hilang”.
Kedua buku di atas merupakan kumpulan artikel Kompas dan Tempo yang menginformasikan penulis mengenai peristiwa Halabja pada Maret tahun 1988 untuk pertama kalinya. Kedua buku ini memberikan gambaran umum Irak sejak bediri hingga runtuhnya rezim Saddam Hussein. Dalam dua buku ini, terdapat pula bab yang memaparkan kondisi Etnis Kurdi di Irak. Kebijakan-kebijakan Saddam Hussein dalam menangani masalah Kurdi salah satunya dengan cara menyerang Etnis Kurdi pada tahun 1988. Peristiwa pembantaian ini bukanlah untuk pertama kalinya yang dialami Kurdi. Pembantaian secara besar-besaran ini tentu menjadi peristiwa yang tidak terlupakan dalam catatan sejarah Etnis Kurdi.
Selain itu, terdapat pula buku yang berjudul Bara Timur Tengah yang ditulis oleh M. Riza Sihbudi. Dalam buku ini, terdapat bab “Kisah Perjuangan Etnis Kurdi” yang membahas gambaran umum sejarah Etnis Kurdi sejak zaman sebelum Islam sampai dengan zaman Saddam Hussein. Buku ini membantu penulis untuk mengetahui asal mula keberadaan Etnis Kurdi di jazirah Arab, khususnya di Irak. Berkaitan dengan tema skripsi, buku ini memberikan gambaran sejarah wilayah yang dihuni Etnis Kurdi di Irak yang kemudian kita kenal dengan sebutan Kurdistan.
 
LATAR BELAKANG TERJADINYA PERISTIWA HALABJA DI IRAK UTARA PADA TAHUN 1988 (PADA MASA REZIM SADAM HUSSEIN)
Baghdad jatuh setelah pasukan gabungan di bawah komando George W. Bush, selaku presiden Amerika saat itu, memasuki kota Baghdad. Selanjutnya, pasukan AS merobohkan Patung Saddam Hussein di Taman Firdaus bersama masyarakat Irak anti-Saddam pada tanggal 9 April 2003 sebagai simbol telah jatuhnya rezim Saddam Hussein di Irak. Akan tetapi, ada juga gerakan perlawanan Irak yang mendukung Saddam untuk melawan pasukan Amerika di beberapa wilayah Irak.
Pada 1 Mei 2003, George W. Bush memberi keterangan ketika berada di kapal USS Abraham Lincoln. George W. Bush menyatakan bahwa perang AS-Irak selesai dan kemenangan berada di pihak pasukan gabungan pimpinan AS. Sementara itu, Presiden Irak, Saddam Hussein, belum diketahui keberadaannya. Sebelum Amerika menemukan dan membawa Saddam ke meja sidang, AS telah menyusun tuntutan perkara yang akan dijatuhkan untuk Saddam. Adapun tuduhan yang akan dijatuhkan terhadap Saddam oleh pengadilan meliputi empat macam kejahatan yaitu: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan pelanggaran terhadap hukum Irak khusus.[2] Selain itu, Saddam juga dituntut berbagai pelanggaran lainnya, seperti mengintervensi keputusan hakim, menyalahgunakan kekayaan negara, serta melakukan tindakan yang melanggar kedaulatan dan teritorial negara lain yaitu dengan ekspansi dan invansi ke Negara Iran dan Kwuait. [3]
Meskipun demikian, tuduhan Pemerintah Amerika Serikat yang menyatakan bahwa Negara Irak memiliki dan mengembangkan senjata pemusnah massal tidak terbukti. Hal ini dibuktikan oleh hasil penyelidikan tim inspeksi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diturunkan untuk menyelidiki kasus kepemilikan senjata pemusnah massal Irak. Hasil penyelidikan tersebut menunjukkan bahwa Irak tidak terbukti memiliki dan mengembangkan senjata pemusnah massal seperti yang dituduhkan oleh pemerintahan AS. Akan tetapi, pemerintah AS tetap terus mencari bukti-bukti tentang kepemilikan Irak terhadap senjata pemusnah massal untuk membenarkan invansi AS terhadap Irak di mata dunia.[4]
Pada 13 Desember 2003, Saddam Hussein berhasil ditangkap oleh pasukan AS di sebuah ruang bawah tanah di Abduar atau Ad-Dawr, sekitar 15 kilometer sebelah Selatan Tikrit, kota kelahiran Saddam Hussein. Akan tetapi, setelah Saddam tertangkap, Saddam tidak jadi diadili di Pengadilan penjahat perang PBB. Alasannya, Irak tidak terbukti memiliki senjata pemusnah massal seperti yang dituduhkan AS. Oleh karena itu, pada 2 Juli 2004 Saddam diadili di Pengadilan Irak yang berada di salah satu ruangan Camp Victory Irak dengan menggunakan hukum yang dibuat sendiri oleh Saddam Hussein ketika berkuasa. Meskipun demikian, Amerika tidak putus asa dalam mencari bukti agar invansi AS ke Irak mendapat dukungan dan mendapat citra positif dari negara Internasional. Bukan hanya itu, AS mencari bukti-bukti kejahatan Saddam untuk menjatuhkan rezim Saddam Hussein dengan mengadilinya sebagai penjahat perang di Pengadilan Internasional. Setelah itu, AS ingin mendemokrasikan kehidupan berbangsa dan bernegara di Irak.[5]
Hasil penyidikan AS pun telah menjadikan Saddam Hussein dikenai banyak tuduhan karena perancangan tuntutan terhadap Saddam Hussein disesuaikan dengan periode kekuasaan rezim Saddam Hussein yaitu mulai 17 Juli 1968—1 Mei 2003.[6] Irak dikenai tujuh tuduhan. Pertama, membunuh para tokoh agama pada tahun 1974. Kedua, membunuh para anggota partai politik. Ketiga, membunuh klan Barzani dari masyarakat Kurdi pada tahun 1983. Keempat, melancarkan kampanye “Anfal” pada tahun 1986—1988 dengan tujuan genosida terhadap masyarakat Kurdi.[7]Kelima, membunuh masyarakat Kurdi di Halabja dengan menggunakan gas sebagai salah satu bentuk rangkaian kampanye Anfal Irak pada tahun 1988. Keenam, menindak tegas dengan menggunakan kekuatan militer terhadap pergolakan yang dilancarkan masyarakat Kurdi dan kelompok Syiah pada tahun 1991. Ketujuh, menginvansi Kuwait pada tahun 1990. Di antara tuduhan yang dijatuhkan kepada Saddam Hussein, tuduhan yang paling penting bagi Amerika dan warga Irak anti-Saddam Hussein adalah invansi ke Kuwait tahun 1990, penumpasan terhadap pemberontakan kaum Syiah pada tahun 1991, dan pembunuhan secara massal dengan menggunakan gas terhadap kelompok Etnis Kurdi di Halabja pada tahun 1988.[8]
Amerika sebenarnya tahu bahwa ada beberapa kasus yang menyatakan Saddam Hussein dan pasukannya telah menggunakan gas kimia sebelum peristiwa Halabja ini yaitu dengan gas mustrad pada 1983 dan gas syaraf tabun yang digunakan sejak tahun 1985. Kedua gas tersebut masih digunakan dalam perang Iran-Irak untuk menghadapi pasukan Iran di perbatasan.[9] Akan tetapi, pengangkatan peristiwa Halabja oleh Amerika ke meja persidangan dianggap menjadi kunci penting dalam pembenaran tuduhan Amerika terhadap Irak dan dijadikan bahan tuntutan untuk menjatuhkan rezim Saddam Hussein. Alasannya, dari peristiwa Halabja ini Irak terbukti memiliki dan menggunakan senjata pemusnah massal. Hal ini dibuktikan dari dokumentasi para korban serangan yang menggunakan bahan kimia oleh rezim Saddam Hussein di Halabja.[10]
Pengangkatan peristiwa Halabja ke persidangan oleh Amerika untuk menjatuhkan rezim Saddam Hussein didukung sepenuhnya oleh masyarakat Kurdi Irak. Hal ini terlihat sejak dimulainya serangan AS dan Inggris ke Irak tahun 2003. Etnis Kurdi-lah yang memegang peran penting dalam upaya melemahkan kekuasaan Saddam Hussein di Irak Utara dan membantu pasukan AS untuk menumbangkan kekuasaan Saddam Hussein di Baghdad. Tindakan Etnis Kurdi tersebut bukan karena keinginan pemimpin Kurdi untuk mendirikan negara merdeka di Irak Utara, tetapi disebabkan mereka tidak menerima tuduhan Pemerintah Baghdad kepada rakyat Kurdi yang dianggap memihak Iran dalam perang Iran-Irak (1980—1988). Tuduhan tersebut mengakibatkan serangan pasukan Saddam Hussein dengan menggunakan senjata kimia yang menyebabkan ribuan rakyat Kurdi tewas secara mengerikan di desa Halabja pada tahun 1988. Ribuan rakyat Kurdi lainnya, diperkirakan 100.000 hingga 150.000 jiwa, terpaksa mengungsi ke Turki dan Iran.[11]
Di antara rangkaian persidangan Saddam Hussein, persidangan tentang kasus Halabja-lah yang paling ditunggu oleh Etnis Kurdi karena akhirnya penderitaan yang dialami Etnis Kurdi Irak dapat didengarkan di pengadilan. Selain itu, mereka juga ingin melihat Saddam Hussein serta Ali Hassan al-Majid dijatuhi hukuman yang adil sesuai dengan perbuatan yang telah mereka lakukan terhadap Etnis Kurdi di Halabja. Jaksa penuntut dan Etnis Kurdi berharap persidangan Halabja juga menuntut perusahaan-perusahaan yang telah memasok bahan-bahan pembuat senjata pemusnah massal kepada Saddam Hussein agar memberikan penanganan terhadap keluarga yang menjadi korban tewas, pengobatan para korban Halabja yang masih hidup, dan rekonstruksi wilayah Halabja yang telah terkontaminasi gas kimia.
Di dalam persidangan Halabja ini, terdapat beberapa terdakwa di antaranya Sultan Hashim Ahmed (mantan menteri pertahanan), Sabir Duri (mantan kepala intelejen militer Irak), Farhan Mutlaq Jibouri (mantan pejabat Intelejen militer Irak), Taher Muhammad al-Ani, terdakwa yang paling penting adalah Ali Hassan al-Majid, dan Saddam Hussein.Akan tetapi, dalam persidangan Halabja, terdapat satu terdakwa yang berhasil melarikan diri yaitu Tariq Ramadan, seorang mantan perwira angkatan udara. Ketika peristiwa Halabja itu terjadi, ia adalah salah satu pilot pesawat yang menjatuhkan bom gas ke wilayah Halabja. Meskipun demikian, menurut jaksa penuntut, sidang yang menuntut terdakwa peristiwa Halabja masih bisa dilaksanakan karena jaksa masih memiliki bukti berupa dokumen-dokumen intelejen, baik berupa foto maupun video peristiwa Halabja, dan 72 saksi termasuk wartawan asing yang meliput peristiwa Halabja setelah peristiwa pengeboman terjadi.
Sesungguhnya, penindasan atas hak asasi manusia terhadap Etnis Kurdi di Irak sudah terjadi sejak Perang Dunia I. Ketika rezim-rezim sebelum Saddam menolak kemerdekaan Kurdistan, Kurdi terpencar di beberapa wilayah seperi Irak, Iran, dan Turki. Pada masa rezim Saddam Hussein, selama 24 tahun, rezim Saddam menindas hak asasi manusia Etnis Kurdi dengan kampanye Anfal, menghancurkan 2.000 Desa Kurdi di Irak Utara, dan membunuh sedikitnya 50.000 warga Kurdi. Ditambah lagi, Saddam Hussein memerintahkan pasukannya yang dipimpin sepupunya sendiri, Jendral Ali Hasan al-Majeed (sering dikenal dengan Ali Hassan al-Majid) untuk menyerang Etnis Kurdi di Irak Utara. Sejak penyerangan tersebut, Ali Hassan mendapat julukan “Chemical Ali” karena ia adalah orang yang menjatuhkan bom pemusnah massal kepada Etnis Kurdi di Halabja. Oleh karena itu, tragedi Halabja ini menjadi simbol kekejaman Saddam Hussein.
Halabja merupakan sebuah kota yang terletak sekitar 200 kilometer sebelah Barat Laut Baghdad atau sekitar 15 kilometer dari perbatasan Iran dan terletak di sekitar 75 kilometer dari Sulaymaniah, Ibu Kota Provinsi Sulaymaniyah. Kota Halabja berpenduduk lima puluh ribuan jiwa. Serangan tentara Irak yang menggunakan senjata kimia itu terjadi pada 16—19 Maret 1988. Diduga serangan ini menggunakan gas beracun, campuran gas Mustrad dan gas Saraf Sarin, Tabun, dan VX, sehingga menewaskan 5000 orang dan sekitar 10.000 orang terluka parah akibat peristiwa Halabja yang kemudian tragedi ini dikenal sebagai tragedi “Jumat Berdarah”.
Peristiwa Halabja bukan tragedi penindasan hak asasi manusia yang pertama dan terakhir bagi kaum Kurdi. Akan tetapi, inilah yang menjadi simbol penindasan hak asasi manusia paling buruk yang pernah dialami Etnis Kurdidi Irak. Bahkan, setelah Saddam Hussein ditangkap pasukan koalisi, Saddam Hussein tetap menganggap tindakan itu bukan suatu bentuk kesalahan pemerintah Irak. Dalam keterangan Saddam Hussein ketika di pengadilan, Saddam Hussein menyatakan bahwa Etnis Kurdi-lah yang sebenarnya telah mencuri tanah Irak.
Invansi AS tahun 2003 dan keberhasilan Amerika menjatuhkan sekaligus membawa Saddam Hussein ke meja pengadilan memberikan bukti pada dunia bahwa AS telah membuktikan Irak pernah menggunakan senjata pemusnah massal di bawah pemerintahan Saddam Hussein, khususnya pada peristiwa Halabja. Meskipun Peristiwa Halabja sudah diangkat AS ke kancah internasional, masyarakat umum khususnya masyarakat di Indonesia belum mengetahui secara mendalam mengenai tragedi ini. Inilah yang menjadi daya tarik penulis untuk menggali lebih jauh sejarah Halabja beserta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa Halabja di Irak Utara tahun 1988.


 

Mengenai Saya

Foto saya
ciracas, pojokan Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
*dahulu..di era darkness ini lah pendahuluan blog ini* kami tepatnya.. hamba ALLAH yg haus akan ilmu,perubahan&informasi.. *now..era renainsance..saya adalah ratu bagi diri saya sendiri yang berusaha untuk melayakan diri bagi seseorang yang layak ditakdirkan bersama diri ini..

Pengikut